BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN UMUM TENTANG SAKSI DALAM HUKUM ISLAM
A.
Pengertian Saksi
Kedudukan saksi dalam pengadilan mempunyai peranan yang cukup penting
sebagai salah satu alat bukti apabila alat bukti lain dirasa atau tidak
ada untuk memberikan keterangan atas
suatu kejadian/sengketa.Dalam teks kitab-kitab fiqh, masalah persaksian dalam
pengadilan dituntut harus laki-laki kecuali untuk persaksian yang berkaitan
dengan hak-hak harta benda (huquq al-amwal) atau hak badan. Seakan-akan hak
perempuan tidak diakui bila dibandingkan dengan laki-laki, Ini berarti terjadi
kesenjangan antara teks-teks fiqh dengan realitas masyarakat.
Teks-teks fiqh tidak lagi diberlakukan dalam realitas konkret
tetapi hanya dijadikan bacaan dan wacana. Persoalan ini tentu bukan hal yang
mudah untuk kita jawab dengan menyatakan bahwa masyarakat sekarang ini memang
sudah meninggalkan ajaran agama. Tetapi kita harus
melihat substansi permasalahan dari soal persaksian tersebut. Ada Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah apakah persyaratan jenis kelamin dalam persaksian
itu merupakan sesuatu yang qoth’I ataukah sesuatu yang dzanny.[1]
Padahal apabila melihat pesan moral Al-Qur’an bahwa kedudukan
laki-laki dan perempuan setara (equal).[2]
Namun akhir-akhir ini banyak persoalan ketika kesadaran perempuan mulai
kelihatan geliatnya untuk menuntut hak-haknya di dalam ruang gerak aktivitasnya
yang selama ini tertindas , diskriminasi oleh perlakuan pesan teks Al-Qur’an
yang notabene
sebagai sumber segala hukum umat Islam yang membebaskan. saksi
selama ini dilihat sebagai persoalan yang cukup signifikan harus adanya
reinterprestasi terhadap pesan teks yang selama ini dianggap saksi satu
lakilaki sama dengan dua perempuan. Namun sebelum dibahas secara panjang, akan
lebih awal kita mengetahui akan definisi saksi.
Menurut etimologi (bahasa) kata saksi dalam bahasa arab dikenal
dengan Asy-syahadah (اﻟﺸﻬﺎدة) adalah bentuk isim masdar dari kata ( ﻳﺸﻬﺪ - ﺷﻬﺪ ) (syahida-yasyhadu) yang artinya menghadiri, menyaksikan
(dengan mata kepala sendiri) dan mengetahui. Kata syahadah juga bermakna al-bayinah (bukti), yamin ( (sumpah) dan
iqrar (pengakuan).[3]
Secara terminologi (istilah). Al-Jauhari menyatakan bahwa
“kesaksian berarti berita pasti.
Musyahadah artinya sesuatu yang
nyata, karena saksi adalah orang yang menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak
mengetahuinya Dikatakan juga bahwa kesaksian berarti seseorang yang
memberitahukan secara benar atas apa yang dilihat dan didengarnya”.[4]
Dalam kamus Istilah fiqih, ”Saksi adalah orang atau orang-orang
yang mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain. Dalam
pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah penting sekali, apalagi ada
kebiasaan di dalam masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan
itu tidak dicatat”[5]
Dalam kamus ilmiah populer, kata “saksi berarti orang yang melihat
suatu peristiwa; orang yang diturutkan dalam suatu perjanjian”.[6]
Dari berbagai definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa saksi (syahadah) adalah (orang yang) yang memberikan keterangan yang
benar tentang apa yang dilihat, dialami, disaksikan dan apa yang didengar
tentang suatu peristiwa tertentu yang disengketakan di depan sidang pengadilan
dengan kata khusus yakni dimulai dengan sumpah terlebih dahulu.
B. Dasar Hukum Saksi Dalam Al-Qur’an dan Hadits
Adapun dasar hukum saksi dalam Al-Qur’an dan hadits yaitu:
Pertama: Q. S.
Al-Baqoroh (2): 282
Artinya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(di antaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksisaksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkan nya.
Kedua: Hadits Riwayat
Muslim
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah saw. Memutuskan kasus
dengan sumpah dan saksi” (HR.Muslim).
Adapun hukum kesaksian itu adalah fardhu ain bagi orang yang
memikul nya bila dia dipanggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran akan hilang;
bahkan wajib apabila dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak
dipanggil untuk itu, karena Allah Ta’ala berfirman:
Artinya:
“….Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian; dan
barang siapa menyembunyikannya, maka ia adalah orang yang berdosa
hatinya.(Al-baqoroh 283).
C. Syarat-Syarat Saksi
Adapun syarat-syarat orang untuk menjadi saksi secara umum yang
berlaku dalam segala aspek dalam hukum Islam adalah:
a. Islam
Oleh sebab itu tidak diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang
muslim. Kecuali dalam hal wasiat di tengah perjalanan. Yang demikian itu
diperbolehkan oleh Imam Abu Hanifah, Syuraih, dan Ibrahim An-Nakha’i. Imam Abu
Hanafiyah juga memperbolehkan kesaksian orang-orang kafir terhadap sesamanya.
Sebab Nabi saw, merajam dua orang yahudi dengan kesaksian orang-orang Yahudi
atas keduanya bahwa keduanya telah berbuat zina. Asy-Syafi’i dan Malik berkata:
tidak diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang muslim, baik dalam
persoalan wasiat di perjalanan ataupun yang lainnya.[7]
b. Laki-laki
Menurut Ulama Syafi’i dan Hambali, saksi harus laki-laki, menurutnya
seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan tidak sah dalam
perkawinan. Sedang menurut Hanafi tentang saksi perempuan, bahwa kesaksian dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan dalam pernikahan
adalah sah mengacu pada ayat AlQur’an Surat Al- Baqoroh: 282.
c. Dewasa / baligh dan berakal
Apabila baligh syarat diterimanya kesaksian, maka baligh dan
berakal adalah syarat di dalam keadilan. Oleh sebab itu, anak kecil tidak boleh
menjadi saksi, walaupun dia bersaksi atas anak kecil yang seperti dia, sebab
mereka kurang mengerti kemaslahatan untuk dirinya, lebih-lebih untuk orang
lain. Begitu pula kesaksian orang gila dan orang yang tidak waras, sebab
kesaksian mereka ini tidak membawa kepada keyakinan yang berdasarkan kepadanya
perkara dihukumi. [8]
d. Adil
Kaum muslim telah sepakat bahwa keadilan menjadi syarat dalam
penerimaan kesaksian, berdasarkan firman Allah:
Artinya
“…….dari saksi-saksi yang kamu ridhoi (Q. S. Al-Baqoroh: 282 )
Oleh sebab itu, maka kesaksian orang fasik tidak diterima dan
orang-orang yang terkenal kedustaan atau keburukan dan kerusakan akhlaknya Sedang menurut Jumhur fuqaha, bahwa keadilan
merupakan suatu sifat tambahan atas keislaman. Yakni menetapi
kewajiban-kewajiban syara’ dan anjuran-anjuran nya, dengan menjauhkan
perkara-perkara yang haram dan makruh. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
tentang keadilan itu cukup dengan lahirnya Islam dan tidak diketahui adanya
cela padanya. Akan tetapi apabila kefasikannya disebabkan oleh tuduhan mengenai
hak orang lain, maka kesaksian nya tidak diterima.[9]
Berbeda dengan Imam Syafi’i dan Hambali, Mereka berpendapat bahwa
syarat saksi itu harus adil.
e. Dapat mendengarkan dan melihat, memahami ucapan-ucapannya, jika
para saksi buta, maka hendaklah mereka bisa mendengarkan suara dan mengenal
betul bahwa suara tersebut adalah suaranya kedua orang yang berakal.[10]
Dalam hal ini kaitannya mengenai syarat saksi Imam Hanafi, mengajukan
syarat-syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi saksi adalah berakal,
orang gila tidak sah menjadi saksi,
baligh, tidak sah saksi anak-anak, merdeka, bukan hamba sahaya, Islam, keduanya
bukan berasal dari satu keturunan yang akan disaksikan Sedang menurut Imam
Syafi’i memberikan persyaratan yang harus dipenuhi bagi seorang yang akan
menjadi saksi adalah dua orang saksi, berakal, baligh, beragama Islam,
mendengar tidak tuli, dan adil .[11]
Imam Abi Syuja’ mengatakan bahwa kesaksian seseorang tidak dapat
diterima kecuali jika memenuhi lima syarat yaitu Islam, baligh, berakal,
merdeka, dan adil. Salah satu mainstream (arus utama) yang sekarang digugat oleh
aktivis gerakan perempuan adalah masalah saksi dalam peradilan Islam, yakni yang
mendudukkan satu laki-laki disamakan dengan dua orang perempuan. [12]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 25, bahwa yang dapat
menjadi saksi ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak
terganggu ingatan dan tidak tuna-rungu atau tuli.
D. Kedudukan Saksi Perempuan Dalam Hukum Islam (fiqh) dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
Dalam kitab-kitab fiqh, hampir semua sepakat bahwa perempuan
ditempatkan secara instrumental dari pada substansi. Ketidakhadiran suara
perempuan dalam budaya di mana fiqih dirumuskan diartikan dengan ketiadaan
substansi perempuan dalam Islam.
Sekilas kita bisa melihat betapa setting kemunculan fiqh dalam
peradaban Arab sangat kental dengan budaya patriarkhi, yang melahirkan fiqh
yang tidak adil dan bias gender. Perempuan dinilai separoh dari laki-laki
(aqiqah, waris, kesaksian), mendapat label negatif (saat haid), dibatasi dan diproteksi (mahrom)
dan masih banyak diskriminasi lain terhadap hak-hak perempuan. Semua itu tentu
sangat tidak relevan dengan pekerjaan. Akibat “kejumudan” fiqh akan
berimplikasi pada eksistensinya di kalangan umat Islam, sebagai konsekuensi
atas hilangnya Relevansi dengan realitas perkembangan dan perubahan sosial.
Padahal sesungguhnya fiqh lahir dalam rangka untuk menafsirkan agama dalam
perspektif perkembangan sosial, sehingga agama akan tetap relevan dengan
perkembangan dan persoalan umat.
Sedikit merujuk pada historisitas
posisi perempuan pra-Islam masih sangat terbelakang. Hanya sedikit
perempuan yang menonjol kemampuannya dibanding dengan laki-laki atau mungkin
tidak ada sama sekali, hal ini tidak terlepas dari tradisi Jahiliyah yang
menempatkan perempuan dengan sangat rendah bahkan tidak punya hak hidup (begitu
lahir langsung dikubur hiduphidup). Dan kaum laki-laki menempati posisi sentral
dan istimewa dalam keluarga dan masyarakat. Mereka bertanggung jawab secara
keseluruhan dalam persoalan kehidupan keluarga, sehingga kaum perempuan secara
umum hanya mengekor kaum laki-laki.
Dapat dikatakan bahwa posisi perempuan pada masa Pra-Islam adalah
sebagai berikut:
Menurut Al-Allamah
Al-Nasafi, kelebihan pria atas wanita adalah pada: akalnya, keteguhan
hati, pola pikir, kekuatan fisik, kemampuan perang, kesempurnaan puasa dan
shalat, adzan, khutbah, jama’ah, jum’ah. Yang dimaksud dengan kesempurnaan
puasa dan shalat di sini tentunya
berdasarkan kuantitas bukan kualitas. Karena waktu puasa wanita terkurangi oleh masa haid, begitu juga waktu shalatnya.
Lihat, [13]
1. Dari sisi kemanusiaan,
perempuan tidak memiliki tempat terhormat dihadapan laki-laki karena tidak
adanya pengakuan atau sikap laki-laki terhadap perempuan dalam mengatur
masyarakat.
2. Ketidaksetaraan antara
laki-laki dan perempuan, suami dan istri di lingkungan keluarga.
3. Mengesampingkan kepribadian atau kompetensi perempuan dalam
memperoleh penghidupan, sehingga perempuan tidak memiliki hak dalam persoalan
waris dan pemilikan harta.
Namun ketika Islam datang, harkat perempuan mulai terperhatikan
sehingga perempuan pada Rasulullah bisa menjadi saksi walaupun perbandingannya
antara laki-laki dan perempuan masih 2 (dua) banding 1 (satu), artinya dalam
persaksian seorang laki-laki bobotnya sama dengan dua orang perempuan
berdasarkan pada QS. Al-Baqoroh: 282, namun hal ini sudah merupakan kemajuan
yang sangat besar yang dilakukan Islam.
Merujuk pada maksud QS. Al-Baqoroh: 282, Dan persaksikanlah dari
dua orang saksi; bila tidak ada dua orang saksi, maka seorang lelaki dan dua orang
perempuan. Yang demikian ini adalah dalam urusan harta benda seperti,
jual-beli, hutang-piutang, sewa-menyewa, gadaian, pengakuan harta benda. Para
ulama berbeda pendapat (ikhtilaf) dalam masalah bobot saksi perempuan, dimana
satu saksi laki-laki sama dengan dua saksi perempuan.
Menurut Imam Hanafi: “Kesaksian orang perempuan dan lelaki itu
diperbolehkan dalam hal harta benda, nikah, rujuk, talak dan dalam segala
sesuatu kecuali hudud dan qishash”. Pendapat ini diperkuat oleh Ibnul Qayyim:
Apabila pembuat syara’ memperbolehkan kesaksian wanita dalam dokumen-dokumen
hutang-piutang yang ditulis kaum pria, sedang pada umumnya dokumen-dokumen itu
ditulis dalam majelis-majelis kaum pria; maka diperbolehkan nya kaum wanita
untuk menjadi saksi dalam urusanurusan yang kebanyakan kaum wanita terlibat
langsung di dalamnya
Jumhur ulama menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi saksi
dalam masalah hudud sedangkan Kalangan Ulama ahli dlohir mengatakan bahwa perempuan boleh
menjadi saksi dalam hudud asalkan
bersama laki-laki, sedangkan perempuan lebih dari seorang, sebagaimana
tekstualits ayat.
Imam Malik, Syafi’i, memperbolehkan kesaksian seorang laki-laki dan
dua orang perempuan dalam hal harta benda, akan tetapi kesaksian wanita tidak
diterima dalam hal hukum badani, seperti hudud, qishash, nikah, thalaq dan
rujuk.
Ibnu Mudzir mengatakan bahwa para ulama’ sepakat, dengan
berpegangan pada Q.S. Al-Baqoroh: 282, dimana mereka memperbolehkan kesaksian
perempuan bersama laki-laki. Dan jumhur ulama’ mengkhususkan kesaksian itu
dalam hal hutang dan harta benda. Mereka tidak memperbolehkan kesaksian dua
orang perempuan bersama laki-laki dalam hal hudud dan qhisas. Tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai kesaksian dalam nikah, perceraian, keturunan, dan
perwalian. Dalam hal ini jumhur tidak memperbolehkan, tetapi para ulama kuffah
memperbolehkan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebuah transaksi terutama
perkawinan, kehadiran saksi menjadi rukun pelakasaan akad nikah, oleh karenanya
setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi (Psl.24 KHI). Oleh
karenanya kehadiran saksi dalam perkawinan mutlak diperlukan dan apabila tidak
dihadiri seorang saksi maka akibat hukumnya tidak sah.
Pentingnya kehadiran saksi, dengan tujuan yaitu guna mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari, apabila salah satu
diantara mereka terlibat perselisihan dan diajukan ke pengadilan. Maka
saksi-saksi tersebut dapat dimintai keterangan sehubungan dengan pemeriksaan
perkaranya. Maka dalam pelaksanaannya, selain saksi harus hadir dan menyaksikan
secara langsung akad nikah, saksi dimintai menandatangani Akta Nikah pada waktu
dan di tempat akad itu dilaksanakan. Menurut Abu Hanifah, Fungsi saksi adalah
informasi (I’lan) telah dilangsungkannya suatu akad.
Di dalam Pasal 25 KHI bahwa syarat saksi yaitu seorang laki-laki
muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatannya, dan tidak tuna rungu atau
tuli. Kehadiran saksi merupakan keharusan yang tidak boleh Apabila kita Melihat uraian di atas bahwa
setting kemunculan fiqh dalam peradaban Arab yang sangat kental dengan budaya
patriarkhi, telah melahirkan fiqh yang sangat tidak adil, menindas dan pro status quo.
Perempuan dinilai separoh dari laki-laki dalam persaksian, dibatasi
dan diproteksi. posisi perempuan dalam haknya memberikan kesaksian. Kesemuanya
itu tentu sangat tidak relevan dengan perkembangan realitas sosial budaya yang
semakin egaliter, perempuan secara obyektif telah mengalami banyak kemajuan dan
semakin mendapatkan peluang untuk bersaing dengan laki-laki, khususnya di
sektor profesi, bisnis, pendidikan dan lain-lain.
Hal ini juga sama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai
kesamaan, dimana keduanya masih menempatkan perempuan sebagai mahluk yang inferior
dibandingkan laki-laki dan ironisnya posisi tersebut mendapatkan dasar
legitimasi dari teks-teks keagamaan. Akibatnya kita tidak dapat mengelak dari
tuduhan bahwa agama ikut terlibat dalam pelanggengan kebudayaan yang
memarginalkan perempuan.
KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya maka
dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang mensyaratkan dua orang saksi
perempuan sebagai pengganti satu orang saksi laki-laki, atau dengan kata lain
bahwa nilai pembuktian saksi perempuan adalah separoh saksi laki-laki lebih
merupakan ketentuan yang bersifat kondisional dan temporal, bukan ketentuan
yang bersifat universal.
Hal yang demikian itu disebabkan karena kaum perempuan pada saat
itu masih kurang berpengalaman dalam urusan-urusan publik karena memang budaya
yang berlaku menempatkan perempuan untuk hanya berperan dalam wilayah
domestik.
Oleh karena itu, seiring dengan perubahan sosial di masyarakat yang
memungkinkan kaum perempuan untuk terjun dan berperan di berbagai urusan
publik, termasuk untuk mendapatkan pendidikan tinggi, berkerja di berbagai
sektor lapangan pekerjaan, bahkan untuk menjabat sebagai kepala negara, maka
nilai kesaksian seorang perempuan sepatutnya diakui sama dengan kesaksian
seorang laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Ihsanudin, Mohammad Najib, Sri
Hidayati (eds), Panduan pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, Yogyakarta: YKF
dan Ford Foundation, 2002, hlm. 93.
Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis Kajian Perempuan dalam
Al-Qur’an dan Mufasir Kontemporer, Bandung: Penerbit Nuansa, 2005, Cet. ke-I,
hlm. 117.
Burhani MS, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Jombang: Lintas
Media),
Moh. Rifa’I, Tarjamah Khulashah Kifayatul Ahyar, Semarang:: Toha
Putra,
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l
Mujtahid. Terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah
“Terjemah Bidayatu’l Mujatahid”, Semarang: Asy-Syifa’ 1990,
Cet,.ke-1,
Ustadz Sa’id Thalib Al-Hamdani, Risalatun Nikan. Terj. Agus Salim
“Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam”, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, Cet.
ke-3
Slamet Abidin dan Aminudin (eds), Fifih Munakahat-1, Bandung: CV.
Pustaka Setia,
.
[1] Ihsanudin, Mohammad Najib, Sri Hidayati (eds), Panduan pengajaran
Fiqh Perempuan di Pesantren, Yogyakarta: YKF dan Ford Foundation, 2002, hlm. 93.
[2] Ahmad Baidowi, Tafsir
Feminis Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Mufasir Kontemporer, Bandung:
Penerbit Nuansa, 2005, Cet. ke-I, hlm. 117.
[3] Ahmad Baidowi, Tafsir
Feminis Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Mufasir Kontemporer, Bandung: Penerbit Nuansa, 2005,
Cet. ke-I, hlm. 117.
[4] Ihsanudin, Mohammad Najib, Sri Hidayati (eds), Op. Cit,
hlm. 94
[5] M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’ah (eds),
Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 306.
[6] Burhani MS, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer,
Jombang: Lintas Media), hlm. 601
[7] Ibid.,
hlm. 57-59
[8] Moh.
Rifa’I, Tarjamah Khulashah Kifayatul Ahyar, Semarang:: Toha Putra, Hlm.
281
[9]
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid. Terj.
M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid. Terj. M. A. Abdurrahman,
A. Haris Abdullah
“Terjemah Bidayatu’l Mujatahid”, Semarang: Asy-Syifa’
1990, Cet,.ke-1, hlm. 684
[10]
Ustadz Sa’id Thalib Al-Hamdani, Risalatun Nikan. Terj. Agus Salim “Risalah
Nikah,
Hukum Perkawinan Islam”, Jakarta: Pustaka Amani, 1989,
Cet. ke-3, hlm. 31.
[11]
Slamet Abidin dan Aminudin (eds), Fifih Munakahat-1, Bandung: CV. Pustaka
Setia,
1999, hlm. 101
[12] Ihsanudin,
Mohammad Najib, Sri Hidayati (eds), Op. Cit., hlm. 95.
[13] Said
Agil Al Munawar, Loc. cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih atas kunjungannya jangan lupa komen