Minggu, 16 April 2017

Makalah Tentang Hermeneutika Dalam Islam


ULUMUL QUR’AN DAN HERMENEUTIKA DALAM ISLAM
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen Pembimbing : Dr. Nur Arfiyah Febriani, M.A.









Di susun oleh
ROKIMIN
NIM : 162520068

PROGRAM PASCA SARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU QUR’AN JAKARTA
TAHUN 2016 M/1438 H




Ulumul Qur’an dan Hermeneutika Dalam Islam
Oleh: Rokimin[1]
ABSTRAK
Akhir-akhir ini hermeneutika menjadi perbincangan yang kian menarik perhatian banyak ilmuan dan ulama, khususnya di Indonesia. Bukan hanya kerana hermeneutik relatif mengemuka dan kian populer di tengah-tengah masyarakat akademik Indonesia khususnya, bahkan implikasi yang ditimbulkan dari pendekatan yang ditawarkan terhadap penafsiran Al-Qur'an yang kerapkali memicu kontroversi di kalangan ummat Islam. Bahkan beberapa ulama dengan tegas menolak rekomendasi hermeneutik sebagai salah satu metode istinbat hukum dalam suatu forum bahsul masa’il. Fenomena ini merupakan bagian dari potret masih kuatnya sebagian umat Islam mempertahankan metode “salaf” dan adanya sikap penolakan terhadap metode baru, yang harus diakui hingga saat ini relatif banyak yang terinspirasi dari Barat, umat Islam masih sebatas memodifikasi dasar metode yang dimunculkannya.
Namun demikian banyak juga para peminat ilmuilmu Tafsir dan Ulum al-Quran yang tidak begitu mempersoalkan kehadiran hermeneutika di dalam memahami Al-Qur'an. Mungkin ini disebabkan kerana luas dan dalamnya pelbagai metode yang pernah digunakan para ulama di dalam memahami teksteks keagamaan. Selain Ulum al-Quran dengan pelbagai cabangnya, Ushul al-Fiqh dengan pelbagai mazhabnya, dan seluk beluk ilmu bahasa Arab itu sendiri sudah lama menjadi wacana di dalam sejarah intelektual dunia Islam. Beberapa konsep dasar dalam hermeneutika itu mempunyai padanan yang hampir sama, di dalam metode keilmuan Islam. Mungkin kerana ini para pakar yang berlatarbelakang filsafat dan pemikiran modenlah yang lebih banyak mengintrodusir hermeneutika di dalam memahami teksteks keagamaan dalam Islam.
Dari aspek permasalahan diatas dan berbagai argumen dan solusi, maka banyakn pertanyaan dikalangan cendikiawan-cendikiawan muslim didunia khususnya di Indonesia: apakah boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahaman sendiri tanpa mempelajari syarat-syarat sebagai mufasir.
Pernyataan (Ibnu Katsir) bahwasannya menafsirkan Al-Qur’an dengan logika semata hukum nya Haram. (Imam At-Turmudzi) menyatakan dari Hadist Rasulullah Saw. Bahwasannya seseorang yang mengartikan atau menafsirkan Al-Qur’an tanpa landasan ilmu pengetahuan, maka tempatnya adalah di neraka.
Tulisan ini menganalisis tentang Ulumul Qur’an dan Hermeneutika dalam Islam. Dengan menganalisis argumen atau pendapat para muhadis dan para ahli ilmu tafsir modern tentang menafsirkan Al-Qur’an.
Metode tematik dipilih menjadi suatu analisis yang sangat tajam, karena menurut Al-Farmawi metode ini lazimnya dipakai untuk mengkaji problematika kontemporer umat sebagai upaya pemahaman pesan kontekstualitas Al-Qur’an, serta dilengkapi dengan pendekatan sains barat lainnya.
Ulumul Qur’an merupakan ilmu yang harus di pelajari dan difahami oleh calon ilmuan muslim, serta untuk berhati-hati dalam memahami suatu ayat Al-Qur’an. Menurut Ibnu Abbas dalam tafsirnya. Menafsirkan Alqur’an dengan logika semata hukumnya haram (Ibnu Abbas/Abdullah Bin Abbas)
Kata Kunci : Ulumul Qur’an, Hermeneutika dalam Islam





MUQODIMAH
Sebagai kitab suci agama Islam, Al-Qur’an tidak hanya berisi diktrin-doktrin Agama, tetapi ia membicarakan pula peristiwa-pristiwa yang terjadi jauh sebelum lahirnya agama Islam. Pristiwa-pristiwa tersebut jelas tidak pernah dialami Nabi Muhammad Saw. Tetapi beliau mengetahui dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Maksud tuhan menurunkan wahyu ini adalah agar manusia dapat belajar dari sejarah atas kesalahan atau kekeliruan umat terdahulu, sehingga tidak terulang kembali dikemudian hari.
Pada awal abad ke-20 beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh dalam tafsirnya al Manar telah menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran ayat-ayat al Quran, yang walaupun dia belum secara eksplisit memproklamirkan penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran. Penggunaan ilmu ini secara terang-terangan baru dilakukan pada tahun tujuh puluhan abad 20.
Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya. Tulisan ini akan memaparkan sekitar polemik pada masalah tersebut.
Akhir-akhir ini kamum muslimin terutama kaum modernis telah banyak memanfaatkan hemeneutika sebagai salah satu instrumen untuk mengali isi dan kandungan ayat Al-Qur’an, penggunaan ilmu tersebut dalam penafsiran Al-Qur’an yang menempatkan sebagai komplemen dan ada pula yang menempatkan sebagai sublemen.
Penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al Quran adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al Quran, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi ilmu ini telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al Quran.

A.    ULUMUL QUR’AN
Alqur’an turun ke dunia tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di dalam masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan religius. Di kawasan Timur Tengah ketika itu,  sudah ada tiga kekuatan yang cukup berpengaruh, yaitu Rumawi Kristen yang berpengaruh di sepanjang Laut Merah, Persia Zoroaster yang berpusat di Mesopotamia dengan pengaruh luas di sebelah Timur Jazirah Arab sampai di Pesisir Pantai Yaman dan kerajaan-kerajaan kecil di Arabia Selatan dengan peradaban yang khas seperti kerajaan Himyar pada abad keenam.
Wxß tûïÎŽÅe³t6B tûïÍÉYãBur žxy¥Ï9 tbqä3tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 n?tã «!$# 8p¤fãm y÷èt/ È@ߍ9$# 4 tb%x.ur ª!$# #¹ƒÍtã [2]$VJŠÅ3ym
Alqur’an karim adalah mukjizat[3] Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan[4]. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad Shollahu Alaihi Wassalam. Untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka kejalan yang lurus, Rasulullah menyampaikan Al-qur’an itu kepada sahabat-sahabatnya orang-orang Arab asli sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suaru ayat mereka menanyakan langsung kepada Rasulullah SAW.[5]
Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika turun ayat Al-An’am 82
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB [6]
Al Hafizh ibnu Katsir – rahimahullah- mengatakan,
أي: هؤلاء الذين أخلصوا العبادة لله وحده لا شريك، له، ولم يشركوا به شيئا هم الآمنون يوم القيامة، المهتدون في الدنيا والآخرة
“ yakni : mereka orang-orang yang mengikhlashkan ibadah hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu baginya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, merekalah orang-orang yang merasa aman pada hari kiamat dan yang mendapatkan petunjuk di dunia dan di akhirat.”

Dari Abdullah, ia mengatakan, tatkala turun ayat, ‘
{ وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ }
 (dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman ) para sahabat beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam- mengatakan, “ siapakah orangnya di antara kita yang tidak berbuat zhalim terhadap dirinya ? maka turunlah ayat,
{ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ } [لقمان: 13]
“sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman : 13) (HR. Al-Bukhari, no.4629 )
Dalam al Musnad, imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Abdullah, ia mengatakan, tatkala turun ayat ini
{ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ }
“Hal tersebut terasa berat dirasakan oleh orang-orang, dan mereka mengatakan, wahai rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak menzhalimi dirinya ? beliau menjawab, “ sesungguhnya bukan seperti yang kalian sangka ! belumkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang shalih, “[7]
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya.[8]
            Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab Ulum dan Al-Qur’an. Kata Ulum merupakan bentuk jamak kata ilmu, adapun ilmu[9] yang dimaksuk disini adalah menurut Abu Syahbah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema dan tujuan. Sedangkan Al-Qur’an Ulama Ushul Fiqih, dan Ulama bahasa Kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat jibril, yang lafadz-lafadz nya mengandung mukzizat[10], membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis dalam mushaf, mulai dari surah Alfatehah sampai akhir surat An-Nass.
كلام الله على نبيه محمد المعجز بتلاوته المنقول بالتواتر المكتوب فى امصاحف من اول سورة الفتحة الى اخر سورة الناس[11]
            Dengan demkian secara bahasa Ulumul Qur’an adalah ilmu atau pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an.[12]
            Ulum jamak dari kata ilmu, ilmu berrati alfahmu Walidrak ( Faham dan menguasai), kemudia arti kata itu berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah. Dengan hal itu Ulumul Qur’an adalah  ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Qur’an dari segi Asbabun Nuzul, sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, Pengumpulan dan penertiban Al-Qur’an, Makiyah[13] dan Madaniah, Nasihk wa Mansukh[14], Muhkam dan Mutayabihat dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Al-Qur’an. [15]
            Adapun definisi Ulumul Al-Qur’an secara istilah, para Ulama memberikan redaksi yang berbeda-beda, sebagaimana berikut ini.
1.      Menurut Manna Al-Qatan di dalam Mabahits fi Ulum Al-Qur’an :
العلم الذي يتناول الابحاث المتلقة بالقران من حيث معرفة اسباب النزول وجمع القران وترتيبه ومعرفة المكي وامدني والناسخ والمنسخ والمحكم والمتشبه الا غير ذالك مما له صلة بالقران[16]
Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al-Qur’an seperti pembahasan tentang Asbabu An-Nuzul, pengumpulan Al-Qur’an dan Penyunanannya, masalah Makiyyah dan Madaniyah, Nasikh dan Mansukh, Muhkam dan Mutasyabihat, dan lain-lain. Ulumul Qur’an juga disebut Ushul At-tafsir, dasar-dasar/ prinsip-prinsip penafsiran, karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an.[17]
2.      Azzarqani “ beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an  dari sisi turun, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, Nasikh dan Mansukh, dan penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya seta hal-hal lain.[18]
3.      Abu Syahbah “ sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang berhubungan dengan Al-qur’an mulai proses penurunan, urutan penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, Nasikh dan Mansukh, Muhkam Mutasbih, sampai pembahasan-pembahasan lain.[19]
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Ulumul Qur’an adalah suatu term ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan pengetahuan yang terkandung dalam Al-Qur’an, berkenaan dengan Al-Qur’an, dan yang digunakan untuk menggali kandungan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an, penjelasan dari maksud-maksud Al-Qur’an, Asbabun Nuzul sebab turunnya Al-Qur’an, Nasikh dan Mansukh, Muhkam dan Mutasyabihat, Rasm kalimatnya, dan lain-lain yang berhubungan dengan Al-Qur’an itu sendiri.[20]
B.     Hubungan dan Urgensi Ulumul Qur’an dan Tafsir
Ulumul Qur’an pada prinsifnya berarti ilmu pengetahuan yang dengan nya diperlukan untuk menafsirkan Al-Qur’an yang materi-materi bahasannya mencakup pengenalan terhadap Al-Qur’an, kaidah-kaidah tafsir, serta kitab-kitab tafsir dan para muafirnya, serta masing-masing aspek  yang dicakup dari keempat komponen tersebut.
Sedangkan tafsir Qur’an adalah cara kerja atau kegiatan ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian yang terkandung dalam Al-Qur’an, Muhammad Abduh mengemukakan bahwa tafsir yang kita butuhkan adalah memahami Al-Qur’an dan kedudukannya sebagai Agama yang menunun dan memberikan pertunjuk manusia menuju kebahagian dunia dan akhirat.[21]
Melihat pengertian Ulumul Qur’an yang pembahasannya tercakup didalamnya, kaitannya dengan tafsir Al-Qur’an tersebut, maka tmpak bahwa satu dengan lainnya mempunyai hubungan erat, bahkan menurut Mufasir Kontemporer Indonesia M. Quraish Shihab, Ulumul Qur’an hakekatnya sama dengan ilmu tafsir, sebagai ilmu untuk menafsirkan Al-Qur’an, mengeluarkan serta menjelaskan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya.
Selain itu urgensi Ulumul Qur’an kaitannya dengan tafsir antara lain:
a)      Membuka kemungkinan untuk memahami Al-Qur’an dengan baik
b)      Mampu menafsirkan Al-Qur’an secara baik dan benar
c)      Menjadi senjata ampuh unutk melawan tantangan dari lawan Islam.[22]

C.    Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an
Al-Qur’an pada hakekatnya, menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman, disamping berfungsi sebagai petunjuk, Al-Qur’an juga sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil, ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan atau penolakan dalam setiap berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Keberadaan Al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam, ditambah dengan keinginan  mereka untuk memahami petunjuk dan mukjizat-mukjizatnya, telah melahirkan selain banyak disiplin ilmu keislaman dan metode-metode penelitian.
 Kenyataan diatas mengundang ulama-ulama untuk mebahas aspek metode yang terbaik guna untuk memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, salah satu jawaban yang disepakati adalah perlunya disusun ilmu-ilmu pengetahuan yang dengannya dapat ditafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik, serta dapat mengeplorasi kandungannya yang berfungsi sebagai petunjuk dalam kehidupan umat manusia, Ilmu yang demikian itu disebut ilmu-ilmu tafsir atau Ulmul Qur’an.
Fase-fase perkembangan Ulumul Qur’an sejak masa Rasulullah hingga sekarang sebagai berikut[23] :
            I.            Ulumul Qur’an pada abad I dan II Hijrah
Priode ini meliputi masa Rasulullah SAW, dan masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa Rasul Khalifah Abu Bakar As-Siddid dan Umar bin Khattab, Ulumul Qur’an belum dibukukan, karena pada umumnya sahabat-sahabat Nabi memahami Al-Qur’an. Bila ada diantara mereka belum memahaminya, mereka dapat bertanya langsung kepada nabi Muhammad SAW.
Kemudia pada masa Khalifah Usman bin Affan perbedaan bacaan terhadap Al-qur’an dikalangan ummat Islam, usaha-usaha pengkodifikasian ayat-ayat Al-Qur’an tersebut merupakan langkah awal sebab munculnya Ulumul Qur’an yang kemudian dinamai dengan Ilmu Rasm Al-Qur’an ( Ilmu tentang penulisan Al-Qur’an).
         II.            Ulumul Qur’an pada abad III-IV Hijrah
Pada priode ini, ulama semakin giat menulis tafsir, karya-karya mereka dibidang Ulmul Qur’an semakin banyak. Diantaranya :
1.      Ali bin Al-Madini[24] menulis ‘Ilm Asbab Al-Nuzul
2.      Abu Ubaid Qasim bin Salam ‘ilm Nasikh dan Mansukh
3.      Muhammad bin Khalaf Murzaban Al-Hawiy fi Ulumul Qur’an
4.      Muhammad Ayyub Idris ‘Ilm Makki dan Madani
      III.            Ulumul Qur’an pada abad V,VI,VII, dan VIII Hijrah
Pada priode ini, karya-karya dalam bidang Ulumul Qur’an semakin banyak semakin lengkap. Lafal-lafal dari ayat Al-Qur’an sudah mulai diberi penjelasan baik dari segi bentuk, arti harfiah, dan arti konteksnya.
Tokoh-tokoh pada priode ini antara lain:
1.      Ibn Abd Asl-Salam karangan  Ilm Majaz Al-Qur’an
2.      Ali bin Said Al-Kufy karangan Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an
3.      Ibn Qoyim karangan Aqsam Al-Qur’an
      IV.            Ulumul Qur’an pada abad IX-XV hijrah
Pada priode tersebut, ulama Ulumul Qur’an  semakin banyak dan karya-karya mereka semakin sempurna dengan aneka ragam buku-buku mereka diantaranya:
1.      Jamaluddin Bayquny[25] karangannya Mawaqi Al-Ulum Min Mawaqi Al-Nujum.
2.      Muhammad Abdul Al-Azim Zarqany karangannya Manahil Al-Irfan fi Ulumul Qur’an
3.      Muhammad Shadiq Rafiiy karangannya I’jaz Al-Qur’an[26]
4.      Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiyaji[27] yang menyusun kitab At-Taisir fi Qowaid At-Taisir. Bab I tentang makna tafsir, takwil, Al-Qur’an, surat, dan ayat. Bab II menjelaskan syarat-syarat penafsiran Bil Arra’yi yang dapat diterima, sedangkan khatimahnya berisi etika-etika guru dan murid.[28]
5.      Syekh Muhammad Ali Salamah, karangannya Manhaj Al-Furqon Fi Ulumul Qur’an.
6.      Muhammad Alghazali karangannya Nazharat Fi Al-Qur’an
7.      Syekh Muhammad Mustofa Al-Maraghi yang menyusun sebuah risalah yang menerangkan kebolehan kita menerjemahkan Al-Qur’an, Ia pun menulis tafsir Al-Maraghi.[29]
D.    Cabang-cabang (Pokok Pembahasan) Ulumul Qur’an
Diantara cabang-cabang atau pokok bahasan Ulumul Qur’an diantaranya:
1.      Ilmu adab Tilawat Al-Qur’an yaitu ilmu-ilmu yang menerangkan aturan-aturan dalam pembacaan Alqur’an
2.      Ilmu Tajwid ialah ilmu yang menerangkan cara-cara membaca Al-Qur’an, tempat memulai, atau tempat berhenti.
3.      Ilmu Asbabun Nuzul yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat
4.      Ilmu Qiroat yaitu ilmu yang menerangkan ragam Qiraat.[30]


E.     Hermeneutika dalam Islam
Dalam mentafsirkan al-Quran, seorang mufassir dituntut menguasai beberapa cabang ilmu sesuai kaidah tafsir yang telah disepakati oleh ahli ilmu Islam. Seseorang tidak punya kewenangan untuk mentafsirkan kalamullah jika tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi tafsir yang digunakan pun harus sesuai tuntunan Rasulullah s.a.w, para sahabat, tabi’in, serta para ulama yang muktabar. Dengan kata lain, merekalah rujukan utama kita. Ilmu pertama yang lahir di kalangan umat Islam adalah Ilmu Tafsir. Ia menjadi mungkin (possible) dan menjadi kenyataan kerana sifat ilmiah struktur bahasa Arab. Tafsir, benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, ataupun hermeneutika Kristen, dan juga tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain[31]. Ilmu tafsir al-Quran adalah penting kerana ia benar-benar merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Imam al-Thabari (w.923H) menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu[32]. Ini adalah ilmu yang mengupas hal ihwal kitab suci al-Quran dari segi sejarah turunnya, sanadnya, adab/cara membacanya, lafadz-lafadznya, erti-ertinya, yang berhubungan dengan hukum-hakamnya dan hikmah-hikmahnya[33].
Namun, akhir-akhir ini, kita – umat Islam – dikejutkan oleh pelbagai serangan arus pemikiran liberal, sama ada yang dilakukan oleh orientalis maupun orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran Barat. Dalam ilmu tafsir, dimunculkanlah hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan Bible, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam mentafsirkan pelbagai kitab suci, terutama al-Quran.
Hal ini telah diingatkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadith shahih Beliau bersabda:[34]
{عن أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي عَنِ النَبِيِ صلى الله عليه وسلام  قَالَ: "لَتَتَبَعَن سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ, شِبْرًا بِشِبْرٍ, وَزرَاعًا بزرَاعٍ حَتىَ لَوْ دَخَلوْا جُحْرَ ضَب تَبَعْتُمُوْهُمْ". قُلْنَا: "يَارَسُوْلَ الله, الْيَهُوْد وَالنَصَارَى؟". قَالَ: "فَمَنْ؟}
Dari Abi Said al-Khudri, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga meskipun mereka berjalan masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian akan mengikuktinya.” Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Apakah mereka itu adalah Yahudi dan Nasrani? Beliau bersabda, “Siapa lagi!”
Kebudayaan Islam pada dasarnya merupakan konpleks atau gagasan dan kenyataan yang sarat dengan jaringan-jaringan hermeneutis yang berpusat pada sentralitas Qur’an. Al-Qur’an sendiri seringkali digambarkan sebagai teks pembentuk yang darinya lahir sedemikian banyak teks-teks tertafsir sebagai hasil berbagai proses pemahaman akan teks pembentuk tersebut.
Sebuah mitologi menyebutkan bahwa kata hermeneutika, pada mulanya merujuk pada nama dewa Yunani kuno, Hermes, yang bertugas menyampaikan berita dari sang Maha Dewa kepada manusia. Menurut Hosssein Nasr, sebagaimana dikutip Komarudin Hidayat, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Sementara menurut riwayat lain, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang tenun.
Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos yunani tentang dewa hermes, disana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenun” atau “memintal” yang dalam bahasa Latin adalah tegere,sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbatkan pada Hermes. Hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks. Bagi Nabi Idris a.s. atau Dewa Hermes, persoalan pertama yang dihadapi adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar bisa dipahami manusia yang berbicara dengan bahasan “bumi”.[35]
Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral, kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan dalam meman-dang hakikat dan fungsi bahasa. Perkembangan aliran filsafat hermenutika mencapai puncaknya ketika muncul dua aliran pemikiran yang berlawanan, Yaitu aliran Intensionalisme dan aliran Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusu teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir.
Herneneutika Qur’an merupakan istilah yang masing asing dalama wacana pemikiran Islam dikursus penafsiran Qur’an tradisional lebih banyak mengenal istilah Al-Tafsir, Al-Takwil, Al-Bayan.  Tentunya ini mengherankan sebab istilah hermeneutika merupakan kosakata filsafat Barat yang digunakan belakangan ini oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru penafsiran Qur’an. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Arkoun, Abu Zayd, Amin Wadud, Asghar Ali Engineer, dan Farid Esack, untuk menjelaskan metodologi penafsiran Qur’an yang lebih kontemporer dan sistematis.[36]
            Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu akar dari hermneuin yang berarti menafsirkan. Hermenutika sebagai seni menafsirkan mengharuskan tiga komponen, yakni teks, penafsir dan penyampaian kepada pendengar. Menurut Mircea Eliade hermeneutika berperan menjelaskan teks seperti apa yang diinginkan oleh si pembuat teks tersebut. Hermeneutika secara umum dapat diartikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna.[37]  Hermeneutika ialah menafsirkan.[38]
            Menurut Komaruddin Hidayat (1993:125) kata hermeneutika pada awalanya merujuk pada nama dewa Yunani kuno, Hermes yang tugasnya menyampakan berita kepada dewa yang dialamatkan kepada manusia.
Kunci pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika bukan hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Peristiwa pemahaman terjadi ketika cakrawala makna historis dan asumsi kita berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Hermeneutika melihat sejarah sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini dan masa depan.
Hermeneutika dalam tradisi Barat, pada awalnya, merupakan bagian dari ilmu filologi, ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks. Oleh karena itu, historigrafi merupakan klien hermeneutika yang paling setia. Mulai abad ke-16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan gereja di eropa terlibat diskusi dan debat mengenai autentisitas Bibel. Mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang dalam berbagai hal, dianggap bertentangan.
Istilah Hermeneutika sendiri, secara historits muncul pertama kali dalam karya Johan Konrad Dannhauer, seorang teolog Jerman, yang berjudul Hermeneutica Sacra, Sive Methodeus Exponendarums Sacrarum Litterarum yang ditulus pada tahun 1654. Sebagai teolog, hermeneutika dalam buku ini masih terbatas pada pembahasan metode menafsirkan teks-teks Bibel.
Memasuki akhir abad ke-18, Hermeneutika mulai dirasakan sebagai teman dan sekaligus tantangan ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena Hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Khususnya dalam ilmu sejarah, karena yang menjadi objek kajian adalah pemahaman tentang makna dan pesan yang terkandung dalam sebuah teks, yang variabelnya meliputi pengarang, proses penulisan, dan karya tulis.[39]
Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang meliputi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan meperhatikan ketiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks. Yang selalin melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ini dimasukkan oleh pengarangnya kedalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan kondisi teks dibaca atau difahami.[40]
Intelektual muslim akhir-akhir ini adalah pemberdayaan teks sebagai pusat makna, seperti yang dilakukan Arkoun dan Abu Zayd, dalam konteks pemberdayaan pembacaan ini mucul hermeneutika yang dikontruksi untuk maksud-maksud tertentu, seperti untuk pembebasan rakyat dari ketertindasan, membangun hubungan harmonis antar agama dan menghilangkan ketidakadilan gender. Pandangan dan pengalaman hidup serta situasi kekinian pembacalah menuntut upaya pembacaan ulang atas teks keagamaan.[41]
Problem utama pemikiran Islam kontemporer termasuk kajian interpretasi al-Qur’an kontemporer adalah umumnya terkait sikap terhadap tradisi (turats) di satu sisi dan sikap terhadap modernitas (hadatsah) di sisi yang lain. Hasan Hanafi sebagai salah satu ilmuan muslim kontemporer memiliki perhatian khusus pada kajian pemikiran keislaman dengan teori hermeneutika al-Qur’an sesungguhnya merupakan hasil dari tindakan sikapnya terhadap “tradisi” di satu sisi dan sikapnya terhadap “modernitas” di sisi lain.
Paul Richoeur mendifinisikan Hermeneutika ialah suatu teori atau aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi teks, Antony Kerbooy, hermeneutika adalah ilmu atau teori penakwilan Richard Palmer, Hermeneutika adalah difinisi-definis hermeneutika dapat disatukan miskipun memiliki sudut-sudut yang berbeda. Pandangan tersebut setelah ia menganggap enama macam definisi hermeneutika diantaranya.
a.       Hermeneutika adalah teori penafsiran kitab suci
b.      Hermeneutika adalah ilmu yang berposisi sebagai metodologi umum bahasa
c.       Hermeneutika adalah ilmu setiap bentuk pemahaman bahasa
d.      Hermeneutika adalah dasar epistomologi untuk ilmu-ilmu humaniora
e.       Hermeneutika adalah eksisstensi dan penomena pemahaman eksistensi
f.       Hermenutika adalah sistem-sistem interpretasi[42]
Dari semua difinisi tersebut Richard Palmer juga mendifinisikan hermeneutika sebagai studi pemahaman dan secara spesifik pemahaman teks.[43]
            Persoalan hermeneutika dalam  Silam boleh dikatakan baru mucul semenjak meluasnya wilayah dan pemeluk Islam pada abad-abad berikutnya. Hal ini terkait dengan keperluan memberikan jawaban-jawaban yang sifatnya spesifik terhadap masalahh-masalah aktual kehidupan umat, sementara Nabi Muhammad Saw sudah tidak mungkin hadir memberikan bimbingan langsung kepada mereka. Dalam hal ini, perumusan hermeneutika Qur’an kemudia sangat dekat dengan perumusan metode-metode pemahaman teks dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik.
            Dari berbagai pengertian diatas penulis berpendapat bahwa hemeneutika disini dapat membantu seseorang dalam memahami kitab suci dengan cara pemaknaan dari teks tersebut. Seorang penafsir berusaha untuk membantu memecahkan pemahaman, khususnya interpretasi teks, hal ini pula penafsir menyungguhkan teks sebagai sebuah hasil karya secara otonom yang terbebas dari segala kepentingan. Dengan kata lain studi hermeneutika mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks dengan mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan lain dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan teks.
F.      Tokoh-tokoh Hermenutika dan Hasil Pemikirannya[44]
1.      Scehleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni dan interpretasi, yakni rekonstruksi historis dan obyektif. Menurutnya ada jurang pemisah antara berbicara atau berifkir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Menurutnya, kita harus mampu mengadaptasi buah pikiran kedalam kekhasan lagak ramgam dan tata bahasa. Dalam setiap kalimat yang diucapkan  terdapat dua momen pemahaman, yaitu apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicara.
2.      Wilhelm Dilthey sebagai seorang filsuf dan ahli bidang hermeneutik filosofis, Dilthey menyusun sebuah dasar epistemologi baru bagi pertimbangan sejarah yakni memandang dunia dalam dua wajah, yaitu interior dan Eksterior. Secara interior dlihat atas dasar kesadaran atau kedaan sadar sedangkan eksterior suatu peristiwa  memiliki tanggal dan tempat khusus atau tertentu. Menurut Dilthey hermeneutika adalah tekhnik memahami ekspresi tentang kehidupan tersusun dalam bentuk tulisan.
G.    Peran Hermeneutika dalam Studi Islam
Hermeneutika tidak hanya berekmbang didunia Barat. Ia meluas dan menembus sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini mempunyai penafsiran sendiri yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus oleh hermeneutika. Beberapa pakar muslim modern melihat signifikan hermenutika, khususnya untuk memahami Al-Qur’an, bahkan mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami Al-Qur’an ternyata memiliki bebrbagai keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks semata, tanpa mau mendiaolkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan di fahami oleh pembacanya, misalnya mengandaikan bahwa ilmu tafsir tidak menempatkan teks dalam dialektika konteks dan konstekstualisasinya, teks Al-Qur’an akan sulit difahami oleh berbagai pembaca lintas generasi.[45]
            Dengan adanya keterbatasan ini, ditambahkan lagi dengan mengaitkan fakta bahwa mereka dibatasi dengan segenap aturan normatif, aturan yang dihubungkan dengan pelanggran terhadap hukum tuhan, seorang peneliti dibebani dengan syarat  harus berakidah yang benar, berakhlak mulia, bersifat ikhlas, berhati jujur dan sebagainya. Bila syarat-syarat ini tidak dipenuhi maka ide penafsirannya tidak diakui.[46]
            Menurut Abou Al-Fadl teks AL-Qur’an menjadi tertutup ketika teks tersebut dianggap memiliki makna yang tetap, dan tidak berubah. Sehingga dengan demikian tertutup pula proses interpretasi. Resiko dari penutupan sebuah teks ini adalah bahwa teks dipandang atau dianggap tidak relevan, dalam arti bahwa pembaca tidak punya alasan untuk kembali merujuk kepada teks dan menggelutinya. Pembaca hanya perlu kembali kepada ketetapan makna terakhir dan cukup mengikutinya.[47]
            Untuk mengetahui tawaran sebuah gagasa hermeneutika Al-Qur’an Abou Al-Fadl, perlu kiranya untuk mengkaji ide-ide atau gagasannya yang berkaitan dengan hermeneutika baik terhadap Al-Qur’an maupun teks-teks lain.
1.      Konsep teks
Hakikat teks bagi sebuah gagasan hermeneutika sangatlah fundamental, bahkan segala bentuk kerja hermeneutika selalu diderivasikan dari suatu yang dondasional, yakni hakikat teks.[48] Teks menurut Abou Al-Fadl digunakan untuk menyebut sumber-sumber tertulis kehendak Tuhan, yang terdiri dari Al-Qur’an dan tradisi-tradisi Nabi yang tercatat.
Ada beberapa kategori dalam mengonsepkan teks yaitu:
a.       Definisi Teks
b.      Teks dan Bahasa
c.       Maksud tekstual
d.      Kepengarangan teks
e.       Teks dan Nash, dan
f.       Karkteristik teks.[49]
2.      Penetapan makna
Penentapan makna pertama ditentukan oleh pengarah (Author) atau setidaknya upaya memahami maksud dari pengaran. Kedua, makna ditentukan oleh teks. Ketiga, pnetapan makna dilakukan oleh pembaca. Ketiga unsur tersebut terbukti berperang penting dalam menentukan makna.
3.      Metode Interpretasi
Metode interpretasi yang dikembangkan oleh Abuo Alfadl adalah interpretasi dinamis, yakni penafsiran seorang mufasir tidak hanya memahami makna awal teks itu berdialog dengan penerima awalnya, tetapi mencoba dengan makna asal tersebut menggali makna asal tersebut menggali makna teks dalam konteks kekinian. Alasan perlunya memahami makna asal teks Al-Qur’an dan kemudian mencoba memahami maknanya pada konteks sekarang, karena Al-Qur’an adalah teks historis yang diwahyukan karena kejadian tertentu.[50]
H.    Contoh Penafsiran Hermeneutika
1.      Penafsiran terhadap kata al-Ardh (tanah/bumi)
Al-Ard adalah bentuk mufrad/singular yang jamaknya bisa aradh, uruudh, dan aradhun. Secara etimologis, al-ardh berarti sesuatu yang manusia berada di atasnya. Kata ini disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 469 kali, 457 kali sebagai kata benda yang berdiri sendiri dan 12 kali dihubungkan dengan kata ganti kepunyaan, yang mengindikasikan bahwa tanah bukanlah ”objek kepemilikan”. Tanah ada dalam kategori ’ada’ (makhluk), bukan kepunyaan. Hanya sekali kata al-ardh dihubungkan kepada orang pertama. Ia digunakan dalam hubungan Tuhan, yang berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah.[51]
Kata al-ardh memiliki beberapa orientasi makna. (1) Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah dan ahli waris tanah. Di sini, al-ardh berarti bumi, seluruh tanah. Jadi, tak ada seorang pun yang bisa menuntut bahwa tanah adalah miliknya[53]. (2) al-Ardh sebagai tanah alam yang subur dan indah. Agrikulture (pertanian) adalah gambaran kreativitas dalam kehidupan manusia. Tanah menjadi tempat tinggal seluruh makhluk hidup. Tanah juga merupakan tanah konflik, sebuah medan perang, sebuah tanah imigrasi dan pengasingan, tanah percobaan dan daya tarik. Jadi, al-ardh adalah di mana sejarah manusia bertempat. (3) Tanah adalah tempat aksi bagi manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. (4) Alam patuh dan taat pada manusia sebagaimana ia patuh pada dan taat pada Tuhan. Warisan tanah bukanlah penyerahan untuk selamanya. Tanah adalah untuk dilindungi, bukan dirusak atau dikotori. (5) Sebuah perjanjian universal ditawarkan pada setiap individu; perjanjian moral, bukan material, unilateral atau sepihak.
Dengan menggunakan basis langkah interpretasi Hasan Hanafi di atas, maka penafsirannya dapat diidentifikasi bahwa komintmen politik sosial Hanafi sebagai penafsir tidak bisa dilepaskan dari kegelisahannya terhadap kasus penempatan tanah tersebut. Keberpihakan penafsir juga terlihat dari usahanya untuk menjelaskan bahwa penempatan tanah tersebut adalah usaha yang menindas. Sinopsis ayat diperlihatkan dengan usahanya mengumpulkan beberapa ayat yang relevan (Q.s. 29: 56, 2: 17, 3:109, 5:40, 5:120, 7:158, 9:116, 39:63, dan lain-lain).[52]
I.       Larangan Menafsirkan Al-Qur’an dengan Ar’Ro’yi ( Hemerneutika)
[53]حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ (الترمذى[54]
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح ٌ (الترمذى[55]
Pada hadis no 1, dan 2 keseluruhannya bersumber dari Ibn `Abbas, yang kemudian ditransmisikan kepada Sa`id bin Jubair, lalu kepada `Abd alA`la, melalui `Abd alA`la inilah bercabang kepada Sufyan dan Abu `Awanah. Beberapa rawi yang meriwayatkan dari Sufyan antara lain Waki` dan Muammal sebagaimana ditakhrij Ahmad, sementara yang meriwayatkan dariSufyan juga yang ditakhrij al­Turmuzi adalah Bisyr bin alSariyy melalui Mahmud bin Gailan. Sementara rawi yang meriwayatkan dari Abu `Awanah antara lain Suwaid bin `Amr yang ditakhrij alTurmuzi melalui Sufyan bin Waki`, rawi lainnya adalah (yang meriwayatkan dari Abu `Awanah) Abu al-Walid dan `Affan yang ditakhrij Ahmadbin Hanbal.
Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 11).[56]
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار[57]ِ
            Syekh Yusuf Al-Qordawi mengatakan penafsiran Ilmiah terhadap Al-Qur’an adalah penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer dengan unsur realita-realita dan teorinya bertujuan untuk menjelaskan sasaran dan makna-makananya.[58]
Kesimpulan
Penjelasan dari ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw, tentang Ulumul Qur’an dan Hermeneutika. Betapa pentingnya seorang ilmuan muslim untuk mempelajari Ulumul Qur’an karena sebagai salah satu syarat untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an. Perlu ditegaskan perbedaan pendapat tentang boleh nya menafsirkan dengan Ar-Ra’yi atau hermeneutika menurut solafus sholeh dan ilmuan cendikiawan muslim mudern dalam memahami ayat Al-Qur’an serta penerapannya kepada masyarakat awam.
Dalam tafsir Ibnu Abbas dan hadis dari Rasulullah Saw, bahwa larangan mengartikan atau memahami ayat Al-Qur’an tanpa landasan ilmu pengetahuan yang sudah di ajarkan oleh Rasulullah Saw. Sedangkan menurut ilmuan muslim mudern Abuo Al-Fadl karena Al-Qur’an adalah teks historis yang diwahyukan kepada manusia karena kejadian tertentu. Tidak berarti makna tekstualnya tidak mampu melampaui konteksnya.
Saran
            Kajian teoritis tentang Ulumul Qur’an dan Hermeneutika dalam Islam yang dipelajari oleh calon-calon cendikiawan muslim, dan harus diaplikasikan untuk memperbaiki pemahaman tentang ayat-ayat Al-Qur’an agar tidak menyesatkan kepada yang lainnya.


Referensi
Al-Qur’an Al-Karim
Al-Hadis Rasulullah Saw
Abu al Fida Isma’iil bin Umar bin Katsir al Qurosyi ad Damsyiqi ( 700 – 774 H), tahqiq : Sami bin Muhammad Salamah, Tafsir al Qur’an al ‘Azhim,  cet. II  (Daar ath Thoyyibah Linnasyr wa at Tauzi’, tahun 1999 M / 1420 H)
Al-Hasan ,Ali, AlManâr, cetakan. I Beirut: Dâr alFikr Al' Arabi, 1998
al-Imam al-Suyuthi, Ilmu Tafsir (terjemahan), (Surabaya : Bina Ilmu, 1982)
Abu Syahbah ,Muhammad bin Muhammad, Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 1992 )
Anwar ,Rosihon, Ulum Al-Qur’an, Cetakan 1 ( Bandung: Cv Pustaka Setia, 2008)
Al-Qattan ,Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Cetakan 8 ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004)
Al-Qatan,Manna, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, (ttp :Mansyurat Al-Hasidist, 1973)
Alqatan ,Manna, Mabahits Fi Ulumul Qur’an, cetakan ke 6, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011
Al-Zarqani ,Muhammad abdul Azim, terjemahan Manhil Al-Irfan, Jilid 1 ( Bairut, Darul Fikr, t.t )
Anwar ,Rosihon, Ulumul Qur’an untuk Uin, Stain, dan Ptais, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Al-Qordawi ,Yusuf, berinteraksi dengan Al-Qur’an, terjemahan. Abdul Hayyie Al-Kattani, Cetakan 1 ( Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
El-Mazni ,Aunur Rofiq, Pengantar Studi Ilmu AL-Qur’an, Edisi Terjemahan, Judul Asli Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim, Juz 1 ( Mesir: Darul Manar, 1377 H
Farida ,Elok Noor dan Kusrini, Studi Islam Pendekatan Hermeneutik, ( Kudus, t.p, 2013) Hlm, 393-394. Jurnal Penelitian
Hamidi ,Arwan, Dinamisasi Penafsiran Al-Qur’an (Pororogo: Lakpesdam-NU)
Hidayat ,Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika,
 (Bandung: Mizan, 2011),
Hassan Hanafi, Al-Wahyu wa al-Waqi’: Dirasat fi asbab an-nuzul, (Nadwah mauqif al-Islam wa al-hadatsah, Dar as-saqa) Hal. 135-136 sevagaimana dikutip oleh Dr. M. Salim Abu Ashi, Maqalatani fi at-Ta’wil Ma’alim fi al-manhaj wa rosd li al-inhiraf (kairo: Daar al-Bashair, 2003)
Ihwan Moch. Nur, meretus Kesarjanaan Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Aby Zayd (Jakarta: Teraju, 2003)
Lutfi ,Mochtar, Hermeneutika Pemahaman dan Metodologis, Surabaya. (Jurnal PDF)
Mu’ammar ,M. Arfan, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi Islam Perspektif Insider/ Outsider, Cetakan ke 2 ( Jogjakarta: Divaprees, 2013)
Muhammad ,Abu `Isa bin `Isa alTurmuzi alSilmi (209279), Sunan alTurmuzi, (Beirut: Dar Ihya’ alTuras al`Arabi, t.t.), juz 5
Mardan, Al-Qur’an sebuah penagntar, (Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010)
Mu’ammar ,M. Arfan, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi Islam Perspektif Insider/ Outsider, Cetakan ke 2 ( Jogjakarta: Divaprees, 2013)
Palmer ,Richar E., Hermeneutics, (evanson: Nortwesten Univ Press, 1969) Hlm.3, Jurnal Lindra Darnela, Interrelasi dan Interkoneksi antara Hermeneutika dan Ushul Fiqih
Syahbah, Pengantar Ulumul Qur’an, ( Surabya: Bina Ilmu, 1993)
Sumaryono ,E., hermeneutika, sebuah metode filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1993)
Sahrodi ,Jamali, Metodologi Studi Islam (bandung: Pustaka Setia, 2008).
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fajlur Rahman, (Bandung: Jalasutra, 2007)
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.








[1] Makalah ini diajukan untuk mata kuliah Studi Ulumul Qur’an, Pascasarjana PTIQ Jakarta, Dosen Pengampu. Dr. Nur Arfiyah Feberiani. M.A
[2] Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada hujjah (alas an) bagi manusia untuk membantah Allah sesudah Rasul-Rasulnya diutus, (Qs. An-Nisa:165)
[3] Mukjizat, mu'jizat atau mujizat (Arab معجزة, Baca Mu'jizah) adalah perkara di luar kebiasaan yang dilakukan oleh Allah melalui para nabi dan rasul-Nya untuk membuktikan kebenaran kenabian dan keabsahan risalahnya,
[4] Arab Saudi merupakan negara yang kaya atas seni-seni dan paling terekanal adalah Syair, oleh karena itu Allah Swt. Menurunkan Al-qur’an Kepada Rasulullah Saw. Dalam bahasa Arab dan literatur Bahasa yang tidak bisa di tandingi oleh Syair-Syair.
[5] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Qur’an, Cetakan 8 ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004), Hlm. 1
[6].orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. ( Qs. AL-An’am: 82)
[7] Abu al Fida Isma’iil bin Umar bin Katsir al Qurosyi ad Damsyiqi ( 700 – 774 H), tahqiq : Sami bin Muhammad Salamah, Tafsir al Qur’an al ‘Azhim,  cet. II  (Daar ath Thoyyibah Linnasyr wa at Tauzi’, tahun 1999 M / 1420 H)

[8] Ali Al-Hasan, AlManâr, cetakan. I (Beirut: Dâr alFikr Al' Arabi, 1998) Hlm.11.

[9] Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.(wikipwdia)
[10] Mutawatir (b. Arab: متواتر, mutawātir) ialah kata serapan bahasa Arab yang bermaksud "diturunkan daripada seorang ke seorang"[1]. Istilah ini digunakan dalam pengajian Ulum al-Quran dan Mustalah Hadith. Hadis Mutawatir ialah nas hadis yang diketahui/diriwayatkan oleh beberapa bilangan orang yang sampai menyampai perkhabaran (Al-Hadis) itu, dan telah pasti dan yakin bahawa mereka yang sampai menyampai tersebut tidak bermuafakat berdusta tentangnya. Ini kerana mustahil terdapat sekumpulan periwayat dengan jumlah yang besar melakukan dusta. (Wikipedia)
[11] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 1992 ), Hlm. 18-20, Pdf
[12] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Cetakan 1 ( Bandung: Cv Pustaka Setia, 2008) Hlm. 11
[13] Makiyah adalah surah Al-Qur’an yang di turunkan di kota Mekkah Al-Mukarromah.
[14] Nasihk ialah Pengganti sedangkan Mansuk ialah di ganti
[15] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Qur’an, Cetakan 8 ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004), Hlm. 8-9.
[16]  “ Ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari sisi informasi tentang Asbabun Nuzul ( sebab-sebab turunnya Al-Qur’an) kodifikasi dan tertib penulisan Al-Qur’an, ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah (Makiyah) atau ayat-ayat yang diturunkan di Madinah (Madaniah), dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Sumber : Manna Al-Qatan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, (ttp :Mansyurat Al-Hasidist, 1973), Hlm. 15-16
[17] Aunur Rofiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu AL-Qur’an, Edisi Terjemahan, Judul Asli Syekh Manna Alqatan, Mabahits Fi Ulumul Qur’an, cetakan ke 6, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011) Hlm.10
[18] Muhammad abdul Azim Al-Zarqani, terjemahan Manhil Al-Irfan, Jilid 1 ( Bairut, Darul Fikr, t.t ), Hlm. 27. Pdf
[19] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 1992 ), Hlm. 25, Pdf

[20]  Rokimin, Makalah Studi Ilmu Alqur’an, Pasca Sarjana PTIQ Jakarta
[21] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim, Juz 1 ( Mesir: Darul Manar, 1377 H) Hlm. 17
[22] Mardan, Al-Qur’an sebuah penagntar, (Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010), Hlm. 19
[23]  Mardan, Al-Qur’an sebuah penagntar, (Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010), Hlm.20-22
[24] Nama lengkapnya Ali bin Abdullah bin Ja’far dan diberi kunyah Abu Ja’far, biografi lengkapnya bisa dilihat di Tadzkiroh Al-Huffazh, hlm 121
[25] Nama lengkapnya Syeikh Abdurrahman bin Umar bin Ruslan Al-Kannani Al-Astqalani, Abu Alfadhil, Jalaludin, ia termasuk salah seorang ulama besar dalam bidang hadis di Mesir, berulang kali ia diangkat menjadi hakim di mesir.
[26]  Mardan, Al-Qur’an sebuah penagntar, (Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010), Hlm.22
[27] Nama lengkap nya Muhammad bin Sulaiman bin Sa’ad dan Mas’ud Ar-Rumi Al-Hanafi, ia hidup bersama Asyuyuti kurang lebih 14 tahun, ia digelari dengan Al-kafiyaji karena kesibukannya dalam persoalan alkafiyah nahwu.
[28] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an untuk Uin, Stain, dan Ptais, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm. 23
[29] Syahbah, Pengantar Ulumul Qur’an, ( Surabya: Bina Ilmu, 1993), Hlm. 30
[30] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an untuk Uin, Stain, dan Ptais, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm. 16
[31] al-Attas, The Concept of Education in Islam : A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An Address to the Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, Pakistan, 1980. Kuala Lumpur : Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), 1980; cetakan kedua oleh International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1991, dikutip dari Prof.Dr.Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, (Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425 H), h. 54.
[32] bu Ja’far Ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, diterjemahkan dan diberi pengantar oleh J.Cooper (Oxford : OUP, 1987), selanjutnya sebagai Jami’ al-Bayan, 1:8, dikutip dari Prof.Dr.Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, (Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425 H), h. 54.
[33] al-Imam al-Suyuthi, Ilmu Tafsir (terjemahan), (Surabaya : Bina Ilmu, 1982), h. 11.
[34] Hadith Riwayat al-Bukhari, Muslim dan Ahmad. Lihat Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim dari Abi Said al-Khudri, edisi revisi Kitab Ilmu, (Surabaya : Bina Ilmu, 2005), h. 951.
[35] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika, (Bandung: Mizan, 2011), hlm. 209-210

[36] Lihat pembahasan selanjutnya, dalam Hermeneutika pemabahasan Metodologi tafsir Qur’an menurut Hasan Hanafi, Khususnya “Hermeneutika Qur’an.
[37] E. Sumaryono, hermeneutika, sebuah metode filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1993) Hlm. 23
[38] Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam (bandung: Pustaka Setia, 2008) Hlm 106.
[39] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika, (Bandung: Mizan, 2011) Hlm. 212
[40] Mochtar Lutfi, Hermeneutika Pemahaman dan Metodologis, Surabaya. (Jurnal PDF)
[41] Moch. Nur Ihwan, meretus Kesarjanaan Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Aby Zayd (Jakarta: Teraju, 2003) Hlm. 4
[42] Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan). Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya. Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. ( Wikipedia.com)
[43] Richar E. Palmer, Hermeneutics, (evanson: Nortwesten Univ Press, 1969) Hlm.3, Jurnal Lindra Darnela, Interrelasi dan Interkoneksi antara Hermeneutika dan Ushul Fiqih.
[44] Elok Noor Farida dan Kusrini, Studi Islam Pendekatan Hermeneutik, ( Kudus, t.p, 2013) Hlm, 393-394. Jurnal Penelitian
[45] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fajlur Rahman, (Bandung: Jalasutra, 2007) Hlm. 11
[46] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fajlur Rahman,( Bandung: Jalasutra, 2007) Hlm 14
[47] M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi Islam Perspektif Insider/ Outsider, Cetakan ke 2 ( Jogjakarta: Divaprees, 2013), Hlm.177
[48] Arwan Hamidi, Dinamisasi Penafsiran Al-Qur’an (Pororogo: Lakpesdam-NU) Hlm, 84
[49] M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi Islam Perspektif Insider/ Outsider, Cetakan ke 2 ( Jogjakarta: Divaprees, 2013), Hlm.180-183
[50] M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi Islam Perspektif Insider/ Outsider) Hlm. 190
[51] Ibn Mandzur, Lisan al-Arob, jilid 7 (Beirut: Daar Shodir, t.th), hlm. 112.
[52] Hassan Hanafi, Al-Wahyu wa al-Waqi’: Dirasat fi asbab an-nuzul, (Nadwah mauqif al-Islam wa al-hadatsah, Dar as-saqa) Hal. 135-136 sevagaimana dikutip oleh Dr. M. Salim Abu Ashi, Maqalatani fi at-Ta’wil Ma’alim fi al-manhaj wa rosd li al-inhiraf (kairo: Daar al-Bashair, 2003) Hal. 64
[53] Abu `Isa Muhammad bin `Isa alTurmuzi alSilmi (209279), Sunan alTurmuzi, (Beirut: Dar Ihya’ alTuras al`Arabi, t.t.), juz 5, hlm. 199
[54] (alTurmuzi berkata): Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada kami, (Sufyan berkata): Suwaid bin `Amr al-Kalbi menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abu `Awanah menceritakan kepada kami dari `Abd alA`la dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda; takutlah kalian (hatihati dalam memegangi) hadishadis dariku kecuali yang benarbenar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang alQur’an dengan ra’yunya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka.
[55] (AlTurmuzi berkata): Mahmud bin Gailan telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin alSyariy menceritakan kepada kami, (Bisyr berkata): Sufyan menceritakan kepada kami dari `Abd alA`la dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) alQur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka” Abu `Isa (alTurmuzi) berkata: hadis ini hasan sahih.
[56] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

[57] Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
[58] Yusuf Al-Qordawi, berinteraksi dengan Al-Qur’an, terjemahan. Abdul Hayyie Al-Kattani, Cetakan 1 ( Jakarta: Gema Insani Press, 1999) Hlm. 531

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas kunjungannya jangan lupa komen

iklan otomatis