ULUMUL QUR’AN DAN HERMENEUTIKA DALAM ISLAM
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi
Al-Qur’an
Dosen Pembimbing : Dr. Nur Arfiyah Febriani, M.A.
Di susun oleh
ROKIMIN
NIM : 162520068
PROGRAM PASCA SARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU QUR’AN JAKARTA
TAHUN 2016 M/1438 H
Ulumul Qur’an dan Hermeneutika Dalam Islam
Oleh: Rokimin[1]
ABSTRAK
Akhir-akhir ini hermeneutika menjadi perbincangan
yang kian menarik perhatian banyak ilmuan dan ulama, khususnya di Indonesia.
Bukan hanya kerana hermeneutik relatif mengemuka dan kian populer di
tengah-tengah masyarakat akademik Indonesia khususnya, bahkan implikasi yang
ditimbulkan dari pendekatan yang ditawarkan terhadap penafsiran Al-Qur'an yang
kerapkali memicu kontroversi di kalangan ummat Islam. Bahkan beberapa ulama
dengan tegas menolak rekomendasi hermeneutik sebagai salah satu metode istinbat
hukum dalam suatu forum bahsul masa’il. Fenomena ini merupakan bagian dari
potret masih kuatnya sebagian umat Islam mempertahankan metode “salaf” dan
adanya sikap penolakan terhadap metode baru, yang harus diakui hingga saat ini
relatif banyak yang terinspirasi dari Barat, umat Islam masih sebatas
memodifikasi dasar metode yang dimunculkannya.
Namun demikian banyak juga para peminat ilmu‑ilmu Tafsir dan Ulum al-Quran yang tidak begitu mempersoalkan
kehadiran hermeneutika di dalam memahami Al-Qur'an. Mungkin ini disebabkan
kerana luas dan dalamnya pelbagai metode yang pernah digunakan para ulama di
dalam memahami teks‑teks
keagamaan. Selain Ulum al-Quran dengan pelbagai cabangnya, Ushul al-Fiqh dengan
pelbagai mazhabnya, dan seluk beluk ilmu bahasa Arab itu sendiri sudah lama
menjadi wacana di dalam sejarah intelektual dunia Islam. Beberapa konsep dasar
dalam hermeneutika itu mempunyai padanan yang hampir sama, di dalam metode
keilmuan Islam. Mungkin kerana ini para pakar yang berlatar‑belakang filsafat dan pemikiran modenlah yang lebih banyak mengintrodusir
hermeneutika di dalam memahami teks‑teks
keagamaan dalam Islam.
Dari aspek permasalahan diatas dan berbagai
argumen dan solusi, maka banyakn pertanyaan dikalangan cendikiawan-cendikiawan
muslim didunia khususnya di Indonesia: apakah boleh menafsirkan Al-Qur’an
dengan pemahaman sendiri tanpa mempelajari syarat-syarat sebagai mufasir.
Pernyataan (Ibnu Katsir) bahwasannya
menafsirkan Al-Qur’an dengan logika semata hukum nya Haram. (Imam At-Turmudzi)
menyatakan dari Hadist Rasulullah Saw. Bahwasannya seseorang yang mengartikan
atau menafsirkan Al-Qur’an tanpa landasan ilmu pengetahuan, maka tempatnya
adalah di neraka.
Tulisan ini menganalisis tentang Ulumul Qur’an
dan Hermeneutika dalam Islam. Dengan menganalisis argumen atau pendapat para
muhadis dan para ahli ilmu tafsir modern tentang menafsirkan Al-Qur’an.
Metode tematik dipilih menjadi suatu analisis
yang sangat tajam, karena menurut Al-Farmawi metode ini lazimnya dipakai untuk
mengkaji problematika kontemporer umat sebagai upaya pemahaman pesan kontekstualitas
Al-Qur’an, serta dilengkapi dengan pendekatan sains barat lainnya.
Ulumul Qur’an merupakan ilmu yang harus di
pelajari dan difahami oleh calon ilmuan muslim, serta untuk berhati-hati dalam
memahami suatu ayat Al-Qur’an. Menurut Ibnu Abbas dalam tafsirnya. Menafsirkan
Alqur’an dengan logika semata hukumnya haram (Ibnu Abbas/Abdullah Bin Abbas)
Kata Kunci : Ulumul Qur’an, Hermeneutika dalam
Islam
MUQODIMAH
Sebagai kitab suci agama Islam, Al-Qur’an
tidak hanya berisi diktrin-doktrin Agama, tetapi ia membicarakan pula
peristiwa-pristiwa yang terjadi jauh sebelum lahirnya agama Islam.
Pristiwa-pristiwa tersebut jelas tidak pernah dialami Nabi Muhammad Saw. Tetapi
beliau mengetahui dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Maksud tuhan
menurunkan wahyu ini adalah agar manusia dapat belajar dari sejarah atas
kesalahan atau kekeliruan umat terdahulu, sehingga tidak terulang kembali
dikemudian hari.
Pada awal abad
ke-20 beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh dalam tafsirnya al Manar telah
menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran ayat-ayat al Quran, yang walaupun
dia belum secara eksplisit memproklamirkan penggunaan Hermeneutika dalam
penafsiran. Penggunaan ilmu ini secara terang-terangan baru dilakukan pada tahun tujuh
puluhan abad 20.
Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat
al Quran mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan
muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya. Tulisan ini akan
memaparkan sekitar polemik pada masalah tersebut.
Akhir-akhir ini kamum muslimin terutama kaum
modernis telah banyak memanfaatkan hemeneutika sebagai salah satu instrumen
untuk mengali isi dan kandungan ayat Al-Qur’an, penggunaan ilmu tersebut dalam
penafsiran Al-Qur’an yang menempatkan sebagai komplemen dan ada pula yang
menempatkan sebagai sublemen.
Penggunaan
hermeneutika dalam dunia penafsiran al Quran adalah hal baru yang belum pernah
dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah
dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al Quran, sehingga ilmu
ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi
ilmu ini telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al
Quran.
A.
ULUMUL QUR’AN
Alqur’an turun ke dunia tidak dalam suatu ruang
dan waktu yang hampa nilai, melainkan di dalam masyarakat yang sarat dengan
berbagai nilai budaya dan religius. Di kawasan Timur Tengah ketika itu,
sudah ada tiga kekuatan yang cukup berpengaruh, yaitu Rumawi Kristen yang
berpengaruh di sepanjang Laut Merah, Persia Zoroaster yang berpusat di
Mesopotamia dengan pengaruh luas di sebelah Timur Jazirah Arab sampai di
Pesisir Pantai Yaman dan kerajaan-kerajaan kecil di Arabia Selatan dengan
peradaban yang khas seperti kerajaan Himyar pada abad keenam.
Wxß tûïÎÅe³t6B tûïÍÉYãBur xy¥Ï9 tbqä3t Ĩ$¨Z=Ï9 n?tã «!$# 8p¤fãm y÷èt/ È@ß9$# 4 tb%x.ur ª!$# #¹Ítã [2]$VJÅ3ym
Alqur’an karim adalah
mukjizat[3]
Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu
pengetahuan[4]. Ia diturunkan Allah
kepada Rasulullah, Muhammad Shollahu Alaihi Wassalam. Untuk mengeluarkan manusia
dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka kejalan
yang lurus, Rasulullah menyampaikan Al-qur’an itu kepada sahabat-sahabatnya orang-orang
Arab asli sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila
mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suaru ayat mereka menanyakan
langsung kepada Rasulullah SAW.[5]
Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika turun ayat Al-An’am 82
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=t OßguZ»yJÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB [6]
Al Hafizh ibnu Katsir – rahimahullah- mengatakan,
أي:
هؤلاء الذين أخلصوا العبادة لله وحده لا شريك، له، ولم يشركوا به شيئا هم الآمنون
يوم القيامة، المهتدون في الدنيا والآخرة
“ yakni : mereka orang-orang yang
mengikhlashkan ibadah hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu baginya, dan
tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, merekalah orang-orang yang merasa
aman pada hari kiamat dan yang mendapatkan petunjuk di dunia dan di akhirat.”
Dari Abdullah, ia mengatakan,
tatkala turun ayat, ‘
{
وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ }
“ (dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman ) para sahabat beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam-
mengatakan, “ siapakah orangnya di antara kita yang tidak berbuat zhalim
terhadap dirinya ? maka turunlah ayat,
{
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ } [لقمان: 13]
“sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman : 13) (HR. Al-Bukhari, no.4629 )
Dalam al Musnad, imam Ahmad bin
Hanbal meriwayatkan dari Abdullah, ia mengatakan, tatkala turun ayat ini
{ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا
إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ }
“Hal tersebut terasa berat dirasakan oleh orang-orang, dan
mereka mengatakan, wahai rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak
menzhalimi dirinya ? beliau menjawab, “ sesungguhnya bukan seperti yang kalian
sangka ! belumkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang
shalih, “[7]
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada
Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah
ketika membacanya.[8]
Ulumul
Qur’an berasal dari bahasa Arab Ulum dan Al-Qur’an. Kata Ulum
merupakan bentuk jamak kata ilmu, adapun ilmu[9]
yang dimaksuk disini adalah menurut Abu Syahbah sejumlah materi pembahasan yang
dibatasi kesatuan tema dan tujuan. Sedangkan Al-Qur’an Ulama Ushul Fiqih, dan
Ulama bahasa Kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
melalui perantara malaikat jibril, yang lafadz-lafadz nya mengandung mukzizat[10],
membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang
ditulis dalam mushaf, mulai dari surah Alfatehah sampai akhir surat An-Nass.
كلام الله على نبيه محمد المعجز بتلاوته المنقول بالتواتر
المكتوب فى امصاحف من اول سورة الفتحة الى اخر سورة الناس[11]
Dengan demkian secara bahasa Ulumul
Qur’an adalah ilmu atau pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an.[12]
Ulum jamak dari kata ilmu,
ilmu berrati alfahmu Walidrak ( Faham dan menguasai), kemudia arti kata
itu berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara
ilmiah. Dengan hal itu Ulumul Qur’an adalah
ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Qur’an dari
segi Asbabun Nuzul, sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, Pengumpulan dan
penertiban Al-Qur’an, Makiyah[13]
dan Madaniah, Nasihk wa Mansukh[14],
Muhkam dan Mutayabihat dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Al-Qur’an. [15]
Adapun definisi Ulumul Al-Qur’an secara istilah, para
Ulama memberikan redaksi yang berbeda-beda, sebagaimana berikut ini.
1.
Menurut Manna Al-Qatan di dalam Mabahits fi Ulum
Al-Qur’an :
العلم الذي
يتناول الابحاث المتلقة بالقران من حيث معرفة اسباب النزول وجمع القران وترتيبه
ومعرفة المكي وامدني والناسخ والمنسخ والمحكم والمتشبه الا غير ذالك مما له صلة
بالقران[16]
Ulumul Qur’an
adalah suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan
kajian-kajian Al-Qur’an seperti pembahasan tentang Asbabu An-Nuzul, pengumpulan
Al-Qur’an dan Penyunanannya, masalah Makiyyah dan Madaniyah, Nasikh dan
Mansukh, Muhkam dan Mutasyabihat, dan lain-lain. Ulumul Qur’an juga disebut Ushul
At-tafsir, dasar-dasar/ prinsip-prinsip penafsiran, karena memuat berbagai
pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an.[17]
2.
Azzarqani “ beberapa pembahasan yang berkaitan dengan
Al-Qur’an dari sisi turun, urutan
penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, Nasikh dan Mansukh, dan
penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya seta hal-hal lain.[18]
3.
Abu Syahbah “ sebuah ilmu yang memiliki banyak objek
pembahasan yang berhubungan dengan Al-qur’an mulai proses penurunan, urutan
penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan,
Nasikh dan Mansukh, Muhkam Mutasbih, sampai pembahasan-pembahasan lain.[19]
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Ulumul
Qur’an adalah suatu term ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan pengetahuan
yang terkandung dalam Al-Qur’an, berkenaan dengan Al-Qur’an, dan yang digunakan
untuk menggali kandungan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an, penjelasan dari
maksud-maksud Al-Qur’an, Asbabun Nuzul sebab turunnya Al-Qur’an, Nasikh dan
Mansukh, Muhkam dan Mutasyabihat, Rasm kalimatnya, dan lain-lain yang
berhubungan dengan Al-Qur’an itu sendiri.[20]
B.
Hubungan dan Urgensi Ulumul Qur’an dan Tafsir
Ulumul Qur’an pada prinsifnya berarti ilmu pengetahuan
yang dengan nya diperlukan untuk menafsirkan Al-Qur’an yang materi-materi
bahasannya mencakup pengenalan terhadap Al-Qur’an, kaidah-kaidah tafsir, serta
kitab-kitab tafsir dan para muafirnya, serta masing-masing aspek yang dicakup dari keempat komponen tersebut.
Sedangkan tafsir Qur’an adalah cara kerja atau kegiatan
ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian yang terkandung dalam
Al-Qur’an, Muhammad Abduh mengemukakan bahwa tafsir yang kita butuhkan adalah
memahami Al-Qur’an dan kedudukannya sebagai Agama yang menunun dan memberikan
pertunjuk manusia menuju kebahagian dunia dan akhirat.[21]
Melihat pengertian Ulumul Qur’an yang pembahasannya
tercakup didalamnya, kaitannya dengan tafsir Al-Qur’an tersebut, maka tmpak
bahwa satu dengan lainnya mempunyai hubungan erat, bahkan menurut Mufasir
Kontemporer Indonesia M. Quraish Shihab, Ulumul Qur’an hakekatnya sama dengan
ilmu tafsir, sebagai ilmu untuk menafsirkan Al-Qur’an, mengeluarkan serta
menjelaskan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya.
Selain itu urgensi Ulumul Qur’an kaitannya dengan tafsir
antara lain:
a)
Membuka kemungkinan untuk memahami Al-Qur’an dengan baik
b)
Mampu menafsirkan Al-Qur’an secara baik dan benar
c)
Menjadi senjata ampuh unutk melawan tantangan dari lawan
Islam.[22]
C.
Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an
Al-Qur’an pada hakekatnya, menempati posisi sentral dalam
studi-studi keislaman, disamping berfungsi sebagai petunjuk, Al-Qur’an juga
sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil, ia menjadi tolak ukur dan
pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan atau
penolakan dalam setiap berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Keberadaan Al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam,
ditambah dengan keinginan mereka untuk
memahami petunjuk dan mukjizat-mukjizatnya, telah melahirkan selain banyak
disiplin ilmu keislaman dan metode-metode penelitian.
Kenyataan diatas
mengundang ulama-ulama untuk mebahas aspek metode yang terbaik guna untuk
memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, salah satu jawaban yang
disepakati adalah perlunya disusun ilmu-ilmu pengetahuan yang dengannya dapat
ditafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik, serta dapat mengeplorasi
kandungannya yang berfungsi sebagai petunjuk dalam kehidupan umat manusia, Ilmu
yang demikian itu disebut ilmu-ilmu tafsir atau Ulmul Qur’an.
Fase-fase perkembangan Ulumul Qur’an sejak masa
Rasulullah hingga sekarang sebagai berikut[23] :
I.
Ulumul Qur’an pada abad I dan II Hijrah
Priode
ini meliputi masa Rasulullah SAW, dan masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa Rasul
Khalifah Abu Bakar As-Siddid dan Umar bin Khattab, Ulumul Qur’an belum
dibukukan, karena pada umumnya sahabat-sahabat Nabi memahami Al-Qur’an. Bila
ada diantara mereka belum memahaminya, mereka dapat bertanya langsung kepada
nabi Muhammad SAW.
Kemudia
pada masa Khalifah Usman bin Affan perbedaan bacaan terhadap Al-qur’an
dikalangan ummat Islam, usaha-usaha pengkodifikasian ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut merupakan langkah awal sebab munculnya Ulumul Qur’an yang kemudian
dinamai dengan Ilmu Rasm Al-Qur’an ( Ilmu tentang penulisan Al-Qur’an).
II.
Ulumul Qur’an pada abad III-IV Hijrah
Pada
priode ini, ulama semakin giat menulis tafsir, karya-karya mereka dibidang
Ulmul Qur’an semakin banyak. Diantaranya :
1.
Ali bin Al-Madini[24]
menulis ‘Ilm Asbab Al-Nuzul
2.
Abu Ubaid Qasim bin Salam ‘ilm Nasikh dan Mansukh
3.
Muhammad bin Khalaf Murzaban Al-Hawiy fi Ulumul Qur’an
4.
Muhammad Ayyub Idris ‘Ilm Makki dan Madani
III.
Ulumul Qur’an pada abad V,VI,VII, dan VIII Hijrah
Pada
priode ini, karya-karya dalam bidang Ulumul Qur’an semakin banyak semakin
lengkap. Lafal-lafal dari ayat Al-Qur’an sudah mulai diberi penjelasan baik
dari segi bentuk, arti harfiah, dan arti konteksnya.
Tokoh-tokoh
pada priode ini antara lain:
1.
Ibn Abd Asl-Salam karangan Ilm Majaz Al-Qur’an
2.
Ali bin Said Al-Kufy karangan Al-Burhan fi Ulum
Al-Qur’an
3.
Ibn Qoyim karangan Aqsam Al-Qur’an
IV.
Ulumul Qur’an pada abad IX-XV hijrah
Pada
priode tersebut, ulama Ulumul Qur’an
semakin banyak dan karya-karya mereka semakin sempurna dengan aneka
ragam buku-buku mereka diantaranya:
1.
Jamaluddin Bayquny[25]
karangannya Mawaqi Al-Ulum Min Mawaqi Al-Nujum.
2.
Muhammad Abdul Al-Azim Zarqany karangannya Manahil
Al-Irfan fi Ulumul Qur’an
3.
Muhammad Shadiq Rafiiy karangannya I’jaz Al-Qur’an[26]
4.
Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiyaji[27]
yang menyusun kitab At-Taisir fi Qowaid At-Taisir. Bab I tentang makna
tafsir, takwil, Al-Qur’an, surat, dan ayat. Bab II menjelaskan syarat-syarat penafsiran
Bil Arra’yi yang dapat diterima, sedangkan khatimahnya berisi etika-etika guru
dan murid.[28]
5.
Syekh Muhammad Ali Salamah, karangannya Manhaj Al-Furqon
Fi Ulumul Qur’an.
6.
Muhammad Alghazali karangannya Nazharat Fi Al-Qur’an
7.
Syekh Muhammad Mustofa Al-Maraghi yang menyusun sebuah
risalah yang menerangkan kebolehan kita menerjemahkan Al-Qur’an, Ia pun menulis
tafsir Al-Maraghi.[29]
D.
Cabang-cabang (Pokok Pembahasan) Ulumul Qur’an
Diantara cabang-cabang atau pokok bahasan Ulumul Qur’an
diantaranya:
1.
Ilmu adab Tilawat Al-Qur’an yaitu ilmu-ilmu yang
menerangkan aturan-aturan dalam pembacaan Alqur’an
2.
Ilmu Tajwid ialah ilmu yang menerangkan cara-cara membaca
Al-Qur’an, tempat memulai, atau tempat berhenti.
3.
Ilmu Asbabun Nuzul yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab
turunnya ayat
4.
Ilmu Qiroat yaitu ilmu yang menerangkan ragam Qiraat.[30]
E.
Hermeneutika dalam Islam
Dalam mentafsirkan al-Quran, seorang mufassir dituntut
menguasai beberapa cabang ilmu sesuai kaidah tafsir yang telah disepakati oleh
ahli ilmu Islam. Seseorang tidak punya kewenangan untuk mentafsirkan kalamullah
jika tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi
tafsir yang digunakan pun harus sesuai tuntunan Rasulullah s.a.w, para sahabat,
tabi’in, serta para ulama yang muktabar. Dengan kata lain, merekalah rujukan
utama kita. Ilmu pertama yang lahir di kalangan umat Islam adalah Ilmu Tafsir.
Ia menjadi mungkin (possible) dan menjadi kenyataan kerana sifat ilmiah
struktur bahasa Arab. Tafsir, benar-benar tidak identik dengan hermeneutika
Yunani, ataupun hermeneutika Kristen, dan juga tidak sama dengan ilmu
interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain[31].
Ilmu tafsir al-Quran adalah penting kerana ia benar-benar merupakan ilmu asas
yang di atasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan
kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Imam al-Thabari (w.923H)
menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan
ilmu[32].
Ini adalah ilmu yang mengupas hal ihwal kitab suci al-Quran dari segi sejarah
turunnya, sanadnya, adab/cara membacanya, lafadz-lafadznya, erti-ertinya, yang
berhubungan dengan hukum-hakamnya dan hikmah-hikmahnya[33].
Namun, akhir-akhir ini, kita – umat Islam – dikejutkan oleh
pelbagai serangan arus pemikiran liberal, sama ada yang dilakukan oleh
orientalis maupun orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran Barat. Dalam
ilmu tafsir, dimunculkanlah hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam
menafsirkan Bible, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam mentafsirkan
pelbagai kitab suci, terutama al-Quran.
Hal ini telah diingatkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadith
shahih Beliau bersabda:[34]
{عن أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي
عَنِ النَبِيِ صلى الله عليه وسلام قَالَ:
"لَتَتَبَعَن سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ, شِبْرًا بِشِبْرٍ, وَزرَاعًا
بزرَاعٍ حَتىَ لَوْ دَخَلوْا جُحْرَ ضَب تَبَعْتُمُوْهُمْ". قُلْنَا:
"يَارَسُوْلَ الله, الْيَهُوْد وَالنَصَارَى؟". قَالَ: "فَمَنْ؟}
“Dari
Abi Said al-Khudri, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh kalian
akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta, sehingga meskipun mereka berjalan masuk ke dalam lubang
biawak, niscaya kalian akan mengikuktinya.” Lalu kami bertanya, “Wahai
Rasulullah, Apakah mereka itu adalah Yahudi dan Nasrani? Beliau bersabda,
“Siapa lagi!”
Kebudayaan Islam pada dasarnya merupakan konpleks atau
gagasan dan kenyataan yang sarat dengan jaringan-jaringan hermeneutis yang
berpusat pada sentralitas Qur’an. Al-Qur’an sendiri seringkali digambarkan sebagai
teks pembentuk yang darinya lahir sedemikian banyak teks-teks tertafsir sebagai
hasil berbagai proses pemahaman akan teks pembentuk tersebut.
Sebuah mitologi menyebutkan bahwa kata
hermeneutika, pada mulanya merujuk pada nama dewa Yunani kuno, Hermes, yang
bertugas menyampaikan berita dari sang Maha Dewa kepada manusia. Menurut
Hosssein Nasr, sebagaimana dikutip Komarudin Hidayat, Hermes tak lain adalah
Nabi Idris a.s. yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Sementara menurut riwayat
lain, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang tenun.
Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos
yunani tentang dewa hermes, disana terdapat korelasi positif. Kata kerja
“menenun” atau “memintal” yang dalam bahasa Latin adalah tegere,sedangkan produknya
disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam
kajian hermeneutika yang dinisbatkan pada Hermes. Hermeneutika yang diambil
dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui
interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks. Bagi Nabi
Idris a.s. atau Dewa Hermes, persoalan pertama yang dihadapi adalah bagaimana
menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar bisa
dipahami manusia yang berbicara dengan bahasan “bumi”.[35]
Sebagai
metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral, kendati di
kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan dalam meman-dang
hakikat dan fungsi bahasa. Perkembangan aliran filsafat hermenutika mencapai
puncaknya ketika muncul dua aliran pemikiran yang berlawanan, Yaitu aliran Intensionalisme dan aliran
Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusu teks sehingga
tinggal menunggu interpretasi penafsir.
Herneneutika Qur’an merupakan istilah yang masing asing
dalama wacana pemikiran Islam dikursus penafsiran Qur’an tradisional lebih
banyak mengenal istilah Al-Tafsir, Al-Takwil, Al-Bayan. Tentunya ini mengherankan sebab istilah
hermeneutika merupakan kosakata filsafat Barat yang digunakan belakangan ini
oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru
penafsiran Qur’an. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Hasan Hanafi, Fazlur
Rahman, Arkoun, Abu Zayd, Amin Wadud, Asghar Ali Engineer, dan Farid Esack,
untuk menjelaskan metodologi penafsiran Qur’an yang lebih kontemporer dan
sistematis.[36]
Hermeneutika
berasal dari bahasa Yunani, yaitu akar dari hermneuin yang berarti
menafsirkan. Hermenutika sebagai seni menafsirkan mengharuskan tiga komponen,
yakni teks, penafsir dan penyampaian kepada pendengar. Menurut Mircea Eliade
hermeneutika berperan menjelaskan teks seperti apa yang diinginkan oleh si
pembuat teks tersebut. Hermeneutika secara umum dapat diartikan sebagai suatu
teori atau filsafat tentang interpretasi makna.[37] Hermeneutika ialah menafsirkan.[38]
Menurut
Komaruddin Hidayat (1993:125) kata hermeneutika pada awalanya merujuk pada nama
dewa Yunani kuno, Hermes yang tugasnya menyampakan berita kepada dewa yang
dialamatkan kepada manusia.
Kunci pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan
manipulasi dan pengendalian. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika
bukan hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna
literalnya. Peristiwa pemahaman terjadi ketika cakrawala makna historis dan
asumsi kita berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Hermeneutika
melihat sejarah sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini dan masa
depan.
Hermeneutika
dalam tradisi Barat, pada awalnya, merupakan bagian dari ilmu filologi, ilmu
yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks. Oleh karena itu, historigrafi
merupakan klien hermeneutika yang paling setia. Mulai abad ke-16, hermeneutika
mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius
ketika kalangan ilmuwan gereja di eropa terlibat diskusi dan debat mengenai
autentisitas Bibel. Mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang
benar mengenai kandungan Bibel yang dalam berbagai hal, dianggap bertentangan.
Istilah
Hermeneutika sendiri, secara historits muncul pertama kali dalam karya Johan
Konrad Dannhauer, seorang teolog Jerman, yang berjudul Hermeneutica Sacra, Sive Methodeus
Exponendarums Sacrarum Litterarum yang
ditulus pada tahun 1654. Sebagai teolog, hermeneutika dalam buku ini masih
terbatas pada pembahasan metode menafsirkan teks-teks Bibel.
Memasuki
akhir abad ke-18, Hermeneutika mulai dirasakan sebagai teman dan sekaligus
tantangan ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena Hermeneutika
mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya.
Khususnya dalam ilmu sejarah, karena yang menjadi objek kajian adalah pemahaman
tentang makna dan pesan yang terkandung dalam sebuah teks, yang variabelnya
meliputi pengarang, proses penulisan, dan karya tulis.[39]
Hermeneutika berusaha menggali makna dengan
mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang meliputi teks tersebut.
Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan
meperhatikan ketiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau
penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks. Yang
selalin melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan
apa yang masuk dan ini dimasukkan oleh pengarangnya kedalam teks, juga berusaha
melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan kondisi teks dibaca atau
difahami.[40]
Intelektual muslim akhir-akhir ini adalah
pemberdayaan teks sebagai pusat makna, seperti yang dilakukan Arkoun dan Abu
Zayd, dalam konteks pemberdayaan pembacaan ini mucul hermeneutika yang
dikontruksi untuk maksud-maksud tertentu, seperti untuk pembebasan rakyat dari
ketertindasan, membangun hubungan harmonis antar agama dan menghilangkan ketidakadilan
gender. Pandangan dan pengalaman hidup serta situasi kekinian pembacalah
menuntut upaya pembacaan ulang atas teks keagamaan.[41]
Problem utama
pemikiran Islam kontemporer termasuk kajian interpretasi al-Qur’an kontemporer
adalah umumnya terkait sikap terhadap tradisi (turats) di satu sisi dan sikap
terhadap modernitas (hadatsah) di sisi yang lain. Hasan Hanafi sebagai salah
satu ilmuan muslim kontemporer memiliki perhatian khusus pada kajian pemikiran
keislaman dengan teori hermeneutika al-Qur’an sesungguhnya merupakan hasil dari
tindakan sikapnya terhadap “tradisi” di satu sisi dan sikapnya terhadap
“modernitas” di sisi lain.
Paul Richoeur mendifinisikan Hermeneutika
ialah suatu teori atau aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi
teks, Antony Kerbooy, hermeneutika adalah ilmu atau teori penakwilan Richard
Palmer, Hermeneutika adalah difinisi-definis hermeneutika dapat disatukan
miskipun memiliki sudut-sudut yang berbeda. Pandangan tersebut setelah ia
menganggap enama macam definisi hermeneutika diantaranya.
a. Hermeneutika adalah teori penafsiran kitab suci
b. Hermeneutika adalah ilmu yang berposisi sebagai metodologi umum bahasa
c. Hermeneutika adalah ilmu setiap bentuk pemahaman bahasa
d. Hermeneutika adalah dasar epistomologi untuk ilmu-ilmu humaniora
e. Hermeneutika adalah eksisstensi dan penomena pemahaman eksistensi
f. Hermenutika adalah sistem-sistem interpretasi[42]
Dari semua difinisi tersebut Richard Palmer
juga mendifinisikan hermeneutika sebagai studi pemahaman dan secara spesifik
pemahaman teks.[43]
Persoalan hermeneutika dalam Silam boleh dikatakan baru mucul semenjak
meluasnya wilayah dan pemeluk Islam pada abad-abad berikutnya. Hal ini terkait
dengan keperluan memberikan jawaban-jawaban yang sifatnya spesifik terhadap
masalahh-masalah aktual kehidupan umat, sementara Nabi Muhammad Saw sudah tidak
mungkin hadir memberikan bimbingan langsung kepada mereka. Dalam hal ini,
perumusan hermeneutika Qur’an kemudia sangat dekat dengan perumusan
metode-metode pemahaman teks dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik.
Dari berbagai pengertian diatas penulis
berpendapat bahwa hemeneutika disini dapat membantu seseorang dalam memahami
kitab suci dengan cara pemaknaan dari teks tersebut. Seorang penafsir berusaha
untuk membantu memecahkan pemahaman, khususnya interpretasi teks, hal ini pula
penafsir menyungguhkan teks sebagai sebuah hasil karya secara otonom yang
terbebas dari segala kepentingan. Dengan kata lain studi hermeneutika mencoba
menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks dengan mengajukan pendekatan-pendekatan
keilmuan lain dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran
dan penjelasan teks.
F.
Tokoh-tokoh Hermenutika dan Hasil Pemikirannya[44]
1. Scehleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni dan
interpretasi, yakni rekonstruksi historis dan obyektif. Menurutnya ada jurang
pemisah antara berbicara atau berifkir yang sifatnya internal dengan ucapan
yang aktual. Menurutnya, kita harus mampu mengadaptasi buah pikiran kedalam
kekhasan lagak ramgam dan tata bahasa. Dalam setiap kalimat yang diucapkan terdapat dua momen pemahaman, yaitu apa yang
dikatakan dalam konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicara.
2. Wilhelm Dilthey sebagai seorang filsuf dan ahli bidang hermeneutik
filosofis, Dilthey menyusun sebuah dasar epistemologi baru bagi pertimbangan
sejarah yakni memandang dunia dalam dua wajah, yaitu interior dan
Eksterior. Secara interior dlihat atas dasar kesadaran atau kedaan sadar
sedangkan eksterior suatu peristiwa
memiliki tanggal dan tempat khusus atau tertentu. Menurut Dilthey
hermeneutika adalah tekhnik memahami ekspresi tentang kehidupan tersusun dalam
bentuk tulisan.
G. Peran Hermeneutika dalam Studi Islam
Hermeneutika tidak hanya berekmbang didunia
Barat. Ia meluas dan menembus sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama
ini mempunyai penafsiran sendiri yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus oleh
hermeneutika. Beberapa pakar muslim modern melihat signifikan hermenutika,
khususnya untuk memahami Al-Qur’an, bahkan mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang
selama ini dijadikan acuan dalam memahami Al-Qur’an ternyata memiliki bebrbagai
keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks
semata, tanpa mau mendiaolkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu
dikeluarkan dan di fahami oleh pembacanya, misalnya mengandaikan bahwa ilmu
tafsir tidak menempatkan teks dalam dialektika konteks dan
konstekstualisasinya, teks Al-Qur’an akan sulit difahami oleh berbagai pembaca
lintas generasi.[45]
Dengan adanya keterbatasan ini,
ditambahkan lagi dengan mengaitkan fakta bahwa mereka dibatasi dengan segenap
aturan normatif, aturan yang dihubungkan dengan pelanggran terhadap hukum
tuhan, seorang peneliti dibebani dengan syarat
harus berakidah yang benar, berakhlak mulia, bersifat ikhlas, berhati
jujur dan sebagainya. Bila syarat-syarat ini tidak dipenuhi maka ide
penafsirannya tidak diakui.[46]
Menurut
Abou Al-Fadl teks AL-Qur’an menjadi tertutup ketika teks tersebut dianggap
memiliki makna yang tetap, dan tidak berubah. Sehingga dengan demikian tertutup
pula proses interpretasi. Resiko dari penutupan sebuah teks ini adalah bahwa
teks dipandang atau dianggap tidak relevan, dalam arti bahwa pembaca tidak
punya alasan untuk kembali merujuk kepada teks dan menggelutinya. Pembaca hanya
perlu kembali kepada ketetapan makna terakhir dan cukup mengikutinya.[47]
Untuk
mengetahui tawaran sebuah gagasa hermeneutika Al-Qur’an Abou Al-Fadl, perlu
kiranya untuk mengkaji ide-ide atau gagasannya yang berkaitan dengan
hermeneutika baik terhadap Al-Qur’an maupun teks-teks lain.
1. Konsep teks
Hakikat teks bagi sebuah gagasan hermeneutika
sangatlah fundamental, bahkan segala bentuk kerja hermeneutika selalu
diderivasikan dari suatu yang dondasional, yakni hakikat teks.[48]
Teks menurut Abou Al-Fadl digunakan untuk menyebut sumber-sumber tertulis
kehendak Tuhan, yang terdiri dari Al-Qur’an dan tradisi-tradisi Nabi yang
tercatat.
Ada beberapa kategori dalam mengonsepkan teks
yaitu:
a. Definisi Teks
b. Teks dan Bahasa
c. Maksud tekstual
d. Kepengarangan teks
e. Teks dan Nash, dan
2. Penetapan makna
Penentapan makna pertama ditentukan
oleh pengarah (Author) atau setidaknya upaya memahami maksud dari pengaran. Kedua,
makna ditentukan oleh teks. Ketiga, pnetapan makna dilakukan oleh
pembaca. Ketiga unsur tersebut terbukti berperang penting dalam menentukan
makna.
3. Metode Interpretasi
Metode interpretasi yang dikembangkan oleh
Abuo Alfadl adalah interpretasi dinamis, yakni penafsiran seorang mufasir tidak
hanya memahami makna awal teks itu berdialog dengan penerima awalnya, tetapi
mencoba dengan makna asal tersebut menggali makna asal tersebut menggali makna
teks dalam konteks kekinian. Alasan perlunya memahami makna asal teks Al-Qur’an
dan kemudian mencoba memahami maknanya pada konteks sekarang, karena Al-Qur’an
adalah teks historis yang diwahyukan karena kejadian tertentu.[50]
H.
Contoh Penafsiran Hermeneutika
1.
Penafsiran terhadap kata al-Ardh (tanah/bumi)
Al-Ard adalah bentuk mufrad/singular yang jamaknya bisa aradh,
uruudh, dan aradhun. Secara etimologis, al-ardh berarti sesuatu yang manusia
berada di atasnya. Kata ini disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 469 kali, 457
kali sebagai kata benda yang berdiri sendiri dan 12 kali dihubungkan dengan
kata ganti kepunyaan, yang mengindikasikan bahwa tanah bukanlah ”objek kepemilikan”.
Tanah ada dalam kategori ’ada’ (makhluk), bukan kepunyaan. Hanya sekali kata
al-ardh dihubungkan kepada orang pertama. Ia digunakan dalam hubungan Tuhan,
yang berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah.[51]
Kata al-ardh memiliki beberapa orientasi makna. (1) Tuhan adalah
satu-satunya pemilik tanah dan ahli waris tanah. Di sini, al-ardh berarti bumi,
seluruh tanah. Jadi, tak ada seorang pun yang bisa menuntut bahwa tanah adalah
miliknya[53]. (2) al-Ardh sebagai tanah alam yang subur dan indah. Agrikulture
(pertanian) adalah gambaran kreativitas dalam kehidupan manusia. Tanah menjadi
tempat tinggal seluruh makhluk hidup. Tanah juga merupakan tanah konflik,
sebuah medan perang, sebuah tanah imigrasi dan pengasingan, tanah percobaan dan
daya tarik. Jadi, al-ardh adalah di mana sejarah manusia bertempat. (3) Tanah
adalah tempat aksi bagi manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. (4) Alam
patuh dan taat pada manusia sebagaimana ia patuh pada dan taat pada Tuhan.
Warisan tanah bukanlah penyerahan untuk selamanya. Tanah adalah untuk
dilindungi, bukan dirusak atau dikotori. (5) Sebuah perjanjian universal
ditawarkan pada setiap individu; perjanjian moral, bukan material, unilateral
atau sepihak.
Dengan menggunakan basis langkah interpretasi Hasan Hanafi di atas,
maka penafsirannya dapat diidentifikasi bahwa komintmen politik sosial Hanafi
sebagai penafsir tidak bisa dilepaskan dari kegelisahannya terhadap kasus
penempatan tanah tersebut. Keberpihakan penafsir juga terlihat dari usahanya
untuk menjelaskan bahwa penempatan tanah tersebut adalah usaha yang menindas.
Sinopsis ayat diperlihatkan dengan usahanya mengumpulkan beberapa ayat yang
relevan (Q.s. 29: 56, 2: 17, 3:109, 5:40, 5:120, 7:158, 9:116, 39:63, dan
lain-lain).[52]
I.
Larangan Menafsirkan Al-Qur’an dengan Ar’Ro’yi ( Hemerneutika)
[53]حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو
الْكَلْبِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ
بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي
الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ (الترمذى[54]
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ
بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ
الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح ٌ (الترمذى[55]
Pada hadis no 1, dan 2 keseluruhannya
bersumber dari Ibn `Abbas, yang kemudian ditransmisikan kepada Sa`id bin
Jubair, lalu kepada `Abd al‑A`la, melalui `Abd al‑A`la inilah bercabang kepada Sufyan dan Abu
`Awanah. Beberapa rawi yang meriwayatkan dari Sufyan antara lain Waki` dan
Muammal sebagaimana di‑takhrij Ahmad, sementara yang meriwayatkan
dariSufyan juga yang di‑takhrij alTurmuzi adalah Bisyr bin al‑Sariyy melalui Mahmud bin Gailan. Sementara rawi yang meriwayatkan dari Abu
`Awanah antara lain Suwaid bin `Amr yang di‑takhrij al‑Turmuzi melalui Sufyan bin Waki`, rawi lainnya
adalah (yang meriwayatkan dari Abu `Awanah) Abu al-Walid dan `Affan yang di‑takhrij Ahmadbin Hanbal.
Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al Qur’an
dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 11).[56]
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ
بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار[57]ِ
Syekh
Yusuf Al-Qordawi mengatakan penafsiran Ilmiah terhadap Al-Qur’an adalah
penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer
dengan unsur realita-realita dan teorinya bertujuan untuk menjelaskan sasaran
dan makna-makananya.[58]
Kesimpulan
Penjelasan dari ayat Al-Qur’an dan hadis
Rasulullah Saw, tentang Ulumul Qur’an dan Hermeneutika. Betapa pentingnya
seorang ilmuan muslim untuk mempelajari Ulumul Qur’an karena sebagai salah satu
syarat untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an. Perlu ditegaskan perbedaan
pendapat tentang boleh nya menafsirkan dengan Ar-Ra’yi atau hermeneutika
menurut solafus sholeh dan ilmuan cendikiawan muslim mudern dalam memahami ayat
Al-Qur’an serta penerapannya kepada masyarakat awam.
Dalam tafsir Ibnu Abbas dan hadis dari
Rasulullah Saw, bahwa larangan mengartikan atau memahami ayat Al-Qur’an tanpa
landasan ilmu pengetahuan yang sudah di ajarkan oleh Rasulullah Saw. Sedangkan
menurut ilmuan muslim mudern Abuo Al-Fadl karena Al-Qur’an adalah teks historis
yang diwahyukan kepada manusia karena kejadian tertentu. Tidak berarti makna
tekstualnya tidak mampu melampaui konteksnya.
Saran
Kajian teoritis tentang Ulumul Qur’an dan
Hermeneutika dalam Islam yang dipelajari oleh calon-calon cendikiawan muslim,
dan harus diaplikasikan untuk memperbaiki pemahaman tentang ayat-ayat Al-Qur’an
agar tidak menyesatkan kepada yang lainnya.
Referensi
Al-Qur’an
Al-Karim
Al-Hadis
Rasulullah Saw
Abu al Fida Isma’iil bin Umar bin Katsir al Qurosyi ad Damsyiqi
( 700 – 774 H), tahqiq : Sami bin Muhammad Salamah, Tafsir al Qur’an al ‘Azhim,
cet. II
(Daar ath Thoyyibah Linnasyr wa at Tauzi’, tahun 1999 M / 1420 H)
Al-Hasan
,Ali, AlManâr, cetakan. I Beirut: Dâr alFikr Al' Arabi, 1998
al-Imam
al-Suyuthi, Ilmu Tafsir (terjemahan), (Surabaya : Bina Ilmu, 1982)
Abu Syahbah ,Muhammad bin Muhammad, Al-Madkhal li Dirasat
Al-Qur’an Al-Karim, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 1992 )
Anwar
,Rosihon, Ulum Al-Qur’an, Cetakan 1 ( Bandung: Cv Pustaka Setia, 2008)
Al-Qattan ,Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Cetakan 8 ( Jakarta: Litera Antar
Nusa, 2004)
Al-Qatan,Manna, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, (ttp :Mansyurat Al-Hasidist,
1973)
Alqatan ,Manna, Mabahits Fi Ulumul Qur’an, cetakan ke 6, ( Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2011
Al-Zarqani ,Muhammad abdul Azim, terjemahan Manhil Al-Irfan, Jilid 1 ( Bairut,
Darul Fikr, t.t )
Anwar ,Rosihon, Ulumul Qur’an untuk Uin, Stain, dan Ptais, cetakan 1
(Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Al-Qordawi ,Yusuf, berinteraksi dengan Al-Qur’an, terjemahan. Abdul Hayyie
Al-Kattani, Cetakan 1 ( Jakarta: Gema
Insani Press, 1999.
El-Mazni ,Aunur Rofiq, Pengantar Studi Ilmu
AL-Qur’an, Edisi Terjemahan, Judul Asli Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur;an Al-Hakim, Juz 1
( Mesir: Darul Manar, 1377 H
Farida ,Elok Noor dan Kusrini, Studi Islam Pendekatan Hermeneutik, ( Kudus,
t.p, 2013) Hlm, 393-394. Jurnal Penelitian
Hamidi ,Arwan, Dinamisasi Penafsiran Al-Qur’an (Pororogo:
Lakpesdam-NU)
Hidayat ,Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika,
(Bandung: Mizan,
2011),
Hassan
Hanafi, Al-Wahyu wa al-Waqi’: Dirasat fi asbab an-nuzul, (Nadwah mauqif
al-Islam wa al-hadatsah, Dar as-saqa) Hal. 135-136 sevagaimana dikutip oleh Dr.
M. Salim Abu Ashi, Maqalatani fi at-Ta’wil Ma’alim fi al-manhaj wa rosd li
al-inhiraf (kairo: Daar al-Bashair, 2003)
Ihwan Moch. Nur, meretus Kesarjanaan Al-Qur’an:
Teori Hermeneutika Aby Zayd (Jakarta: Teraju, 2003)
Lutfi ,Mochtar, Hermeneutika Pemahaman dan
Metodologis, Surabaya. (Jurnal PDF)
Mu’ammar ,M. Arfan, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi
Islam Perspektif Insider/ Outsider, Cetakan ke 2 ( Jogjakarta: Divaprees,
2013)
Muhammad ,Abu `Isa bin `Isa al‑Turmuzi
al‑Silmi (209‑279), Sunan al‑Turmuzi,
(Beirut: Dar Ihya’ al‑Turas al‑`Arabi, t.t.), juz 5
Mardan, Al-Qur’an sebuah penagntar, (Jakarta:
Mazhab Ciputat, 2010)
Mu’ammar ,M. Arfan, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi
Islam Perspektif Insider/ Outsider, Cetakan ke 2 ( Jogjakarta: Divaprees,
2013)
Palmer ,Richar E., Hermeneutics, (evanson: Nortwesten
Univ Press, 1969) Hlm.3, Jurnal Lindra Darnela, Interrelasi dan Interkoneksi
antara Hermeneutika dan Ushul Fiqih
Syahbah, Pengantar Ulumul Qur’an, (
Surabya: Bina Ilmu, 1993)
Sumaryono ,E., hermeneutika, sebuah metode filsafat, (
Yogyakarta: Kanisius, 1993)
Sahrodi ,Jamali, Metodologi Studi Islam (bandung:
Pustaka Setia, 2008).
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fajlur
Rahman, (Bandung: Jalasutra, 2007)
Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun
1431 H.
[1] Makalah ini diajukan untuk mata kuliah Studi
Ulumul Qur’an, Pascasarjana PTIQ Jakarta, Dosen Pengampu. Dr. Nur Arfiyah
Feberiani. M.A
[2]
Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada hujjah
(alas an) bagi manusia untuk membantah Allah sesudah Rasul-Rasulnya diutus,
(Qs. An-Nisa:165)
[4] Arab Saudi merupakan negara yang kaya atas
seni-seni dan paling terekanal adalah Syair, oleh karena itu Allah Swt.
Menurunkan Al-qur’an Kepada Rasulullah Saw. Dalam bahasa Arab dan literatur
Bahasa yang tidak bisa di tandingi oleh Syair-Syair.
[5] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Qur’an, Cetakan
8 ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004), Hlm. 1
[6].orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk. ( Qs. AL-An’am: 82)
[7]
Abu
al Fida Isma’iil bin Umar bin Katsir al Qurosyi ad Damsyiqi ( 700 – 774 H),
tahqiq : Sami bin Muhammad Salamah, Tafsir al Qur’an al ‘Azhim,
cet. II
(Daar ath Thoyyibah Linnasyr wa at Tauzi’, tahun 1999 M / 1420 H)
[9] Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia.Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup
pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.(wikipwdia)
[10] Mutawatir (b. Arab: متواتر, mutawātir) ialah
kata serapan bahasa Arab yang bermaksud "diturunkan daripada seorang ke seorang"[1]. Istilah ini digunakan dalam
pengajian Ulum al-Quran dan Mustalah Hadith. Hadis
Mutawatir ialah nas hadis yang diketahui/diriwayatkan
oleh beberapa bilangan orang yang sampai menyampai perkhabaran (Al-Hadis) itu,
dan telah pasti dan yakin bahawa mereka yang sampai menyampai tersebut tidak
bermuafakat berdusta tentangnya. Ini
kerana mustahil terdapat sekumpulan periwayat dengan jumlah yang besar
melakukan dusta. (Wikipedia)
[11]
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim,
(Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 1992 ), Hlm. 18-20, Pdf
[12]
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Cetakan 1 ( Bandung: Cv Pustaka Setia,
2008) Hlm. 11
[15] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Qur’an, Cetakan
8 ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004), Hlm. 8-9.
[16] “ Ilmu
yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari sisi informasi
tentang Asbabun Nuzul ( sebab-sebab turunnya Al-Qur’an) kodifikasi dan tertib
penulisan Al-Qur’an, ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah (Makiyah) atau ayat-ayat
yang diturunkan di Madinah (Madaniah), dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
Al-Qur’an.
Sumber : Manna Al-Qatan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, (ttp
:Mansyurat Al-Hasidist, 1973), Hlm. 15-16
[17] Aunur Rofiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu AL-Qur’an, Edisi Terjemahan,
Judul Asli Syekh Manna Alqatan, Mabahits Fi Ulumul Qur’an, cetakan
ke 6, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011) Hlm.10
[18] Muhammad abdul Azim Al-Zarqani, terjemahan
Manhil Al-Irfan, Jilid 1 ( Bairut, Darul Fikr, t.t ), Hlm. 27. Pdf
[19] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal
li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 1992 ), Hlm. 25,
Pdf
[21]
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur;an
Al-Hakim, Juz 1 ( Mesir: Darul Manar, 1377 H) Hlm. 17
[24] Nama lengkapnya Ali bin Abdullah bin Ja’far
dan diberi kunyah Abu Ja’far, biografi lengkapnya bisa dilihat di Tadzkiroh
Al-Huffazh, hlm 121
[25] Nama lengkapnya Syeikh Abdurrahman bin Umar
bin Ruslan Al-Kannani Al-Astqalani, Abu Alfadhil, Jalaludin, ia termasuk salah
seorang ulama besar dalam bidang hadis di Mesir, berulang kali ia diangkat
menjadi hakim di mesir.
[27] Nama lengkap nya Muhammad bin Sulaiman bin
Sa’ad dan Mas’ud Ar-Rumi Al-Hanafi, ia hidup bersama Asyuyuti kurang lebih 14
tahun, ia digelari dengan Al-kafiyaji karena kesibukannya dalam
persoalan alkafiyah nahwu.
[28] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an untuk Uin, Stain,
dan Ptais, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm. 23
[30] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an untuk Uin,
Stain, dan Ptais, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm. 16
[31]
al-Attas, The
Concept of Education in Islam : A Framework for an Islamic Philosophy of
Education. An Address to the Second World Conference on Muslim Education,
Islamabad, Pakistan, 1980. Kuala Lumpur : Muslim Youth Movement of Malaysia
(ABIM), 1980; cetakan kedua oleh International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), 1991, dikutip dari Prof.Dr.Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir
dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, (Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425
H), h. 54.
[32] bu Ja’far Ibn
Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, diterjemahkan dan diberi
pengantar oleh J.Cooper (Oxford : OUP, 1987), selanjutnya sebagai Jami’
al-Bayan, 1:8, dikutip dari Prof.Dr.Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil
Sebagai Metode Ilmiah, (Jurnal ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425 H), h. 54.
[33]
al-Imam al-Suyuthi, Ilmu Tafsir (terjemahan), (Surabaya : Bina Ilmu, 1982), h.
11.
[34] Hadith Riwayat
al-Bukhari, Muslim dan Ahmad. Lihat Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadits
Shahih Bukhari Muslim dari Abi Said al-Khudri, edisi revisi Kitab Ilmu,
(Surabaya : Bina Ilmu, 2005), h. 951.
[35]
Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama
Sebuah Kajian Hermeneutika, (Bandung:
Mizan, 2011), hlm. 209-210
[36] Lihat pembahasan selanjutnya, dalam Hermeneutika
pemabahasan Metodologi tafsir Qur’an menurut Hasan Hanafi, Khususnya
“Hermeneutika Qur’an.
[39]
Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika, (Bandung:
Mizan, 2011) Hlm. 212
[41] Moch. Nur Ihwan, meretus Kesarjanaan
Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Aby Zayd (Jakarta: Teraju, 2003) Hlm. 4
[42] Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau
lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara
simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal
sebagai interpretasi berurutan). Menurut
definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan.
Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek tersebut
tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat
merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya. Suatu
interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran
informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. ( Wikipedia.com)
[43] Richar E. Palmer, Hermeneutics, (evanson:
Nortwesten Univ Press, 1969) Hlm.3, Jurnal Lindra Darnela, Interrelasi dan
Interkoneksi antara Hermeneutika dan Ushul Fiqih.
[44] Elok Noor Farida dan Kusrini, Studi Islam
Pendekatan Hermeneutik, ( Kudus, t.p, 2013) Hlm, 393-394. Jurnal Penelitian
[47] M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi
Islam Perspektif Insider/ Outsider, Cetakan ke 2 ( Jogjakarta: Divaprees,
2013), Hlm.177
[49]
M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi
Islam Perspektif Insider/ Outsider, Cetakan ke 2 ( Jogjakarta: Divaprees,
2013), Hlm.180-183
[50]
M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi
Islam Perspektif Insider/ Outsider) Hlm. 190
[51] Ibn
Mandzur, Lisan al-Arob, jilid 7 (Beirut: Daar Shodir, t.th), hlm. 112.
[52] Hassan Hanafi, Al-Wahyu wa al-Waqi’: Dirasat fi asbab an-nuzul,
(Nadwah mauqif al-Islam wa al-hadatsah, Dar as-saqa) Hal. 135-136 sevagaimana
dikutip oleh Dr. M. Salim Abu Ashi, Maqalatani fi at-Ta’wil Ma’alim fi
al-manhaj wa rosd li al-inhiraf (kairo: Daar al-Bashair, 2003) Hal. 64
[53] Abu
`Isa Muhammad bin `Isa al‑Turmuzi al‑Silmi (209‑279), Sunan al‑Turmuzi,
(Beirut: Dar Ihya’ al‑Turas al‑`Arabi, t.t.), juz 5, hlm. 199
[54] (al‑Turmuzi
berkata): Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada kami, (Sufyan berkata): Suwaid
bin `Amr al-Kalbi menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abu `Awanah
menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas dari Nabi Saw,
beliau bersabda; takutlah kalian (hati‑hati dalam memegangi) hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa
berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat
duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api
neraka.
[55] (Al‑Turmuzi
berkata): Mahmud bin Gailan telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata):
Bisyr bin al‑Syariy
menceritakan kepada kami, (Bisyr berkata): Sufyan menceritakan kepada kami dari
`Abd al‑A`la dari Sa`id
bin Jubair dari Ibn `Abbas Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang
mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan
tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api
neraka” Abu `Isa (al‑Turmuzi)
berkata: hadis ini hasan sahih.
[56]
Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun
1431 H.
[57]
Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan
logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR.
Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu
Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
[58] Yusuf Al-Qordawi, berinteraksi dengan
Al-Qur’an, terjemahan. Abdul Hayyie Al-Kattani, Cetakan 1 ( Jakarta: Gema
Insani Press, 1999) Hlm. 531
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih atas kunjungannya jangan lupa komen