Senin, 01 Januari 2018

MAKALAH TENTANG PANDANGAN MANUSIA MENURUT AL-QUR'AN

BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT telah menciptakan berbagai macam makhluk diantaranya malaikat, iblis, manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya. Manusia merupakan makhluk yang terakhir dibuat oleh Allah SWT. Akantetapi, manusialah makhluk yang derajatnya paling tinggi dimana Allah menyuruh makhluk lain untuk bersujud  kepada Nabi Adam (manusia pertama). Namun,  jika manusia tidak mempergunakan semua karunia itu dengan benar, maka derajat manusia akan turun, bahkan menjadi serendah-rendahnya makhluk.
Manusia adalah makhluk Allah  yang paling mulia dan diciptakan untuk memimpin kehidupan di bumi ini (QS, Al-An’am: 165), untuk itu Allah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tin: 4) yaitu terdiri dari unsur jasmani dan unsur rohani. Dengan unsur jasmaninya ia berbeda dengan makhluk yang gaib dan dengan unsur rohaninya ia berbeda dengan makhluk yang melata di alam ini. Sehingga wajarlah jika manusia diberikan kedudukan yang sangat tinggi, bahkan malaikatpun diperintahkan sujud kepada-Nya. Melalui pengajaran Allah kepada Adam, manusia mampu, secara potensial, untuk mengetahui hukum-hukum alam. Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya (QS. Al-Baqarah [2]: 31), dan melalui penundukan Allah terhadap alam raya, manusia dapat memanfaatkan seluruh jagat raya. Dia yang telah menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (AS. Al-Jatsiyah [45]: 13).





BAB II
PEMABAHASAN
A.    Pandangan Manusia Dalam Al-Qur’an
Manusia merupakan makhluk yang di ciptakan oleh Allah Swt. Secara sempurna tanpa ada kurang satupun yang di berikannya. Allah menciptakan pada diri manusia mata untuk melihat, telinga untuk mendegar, hidung untuk mencium dan lain sebagai nya. oleh karena itu manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt yang sangat sempurna harus terus disyukuri.
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia Manusia Adalah makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang: sebagai -- biasa, ia bisa juga khilaf. [1]
Di dalam al-Qur’an banyak menyingung tentang makna atau arti dari kata manusia. Telaah ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang manusia, memberi gambaran  kontradiktif  menyangkut keberadaannya. Disatu sisi manusia dalam al-Quran sering mendapat pujian Tuhan. Seperti pernyataan terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya, kemudian penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk lain. Sedang di sisi lain sering pula manusia mendapat celaan Tuhan. Seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat, dan sangat banyak membantah  serta bersifat keluh kesah lagi kikir.
Istilah Manusia dalam Al-Qur’an
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia:
1.   Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin seperti insan, ins, nas atau unas.
2.   Menggunakan kata basyar.
3.   Menggunakan kata Bani Adam dan zuriyat Adam.
Kata insan terambil dari akar kata “uns” yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa) atau nasa – yanusu (berguncang).[2]
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
Terbacanya kalimat “Al-Basyar” di beberapa tempat pada Al-Qur’an memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kalimat itu adalah anak Adam (manusia) yang biasa makan dan berjalan di pasar, dan di pasar itulah mereka saling bertemu atas dasar mumatsalah (persamaan jenis makhluk yaitu sama-sama manusia), ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Basyar dalam Al-Qur’an adalah “manusia”.Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mustanna untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.[3]
Bint Syathi’ mengatakan bahwa kalimat “Al-Basyar” yang merupakan nama dari sekelompok makhluk (manusia) terdapat pada 35 tempat di dalam Al-Qur’an, di antaranya terdapat pada 25 tempat yang mengemukakan bahwa para Rasul dan Nabi itu adalah manusia (Al-Basyar). Kemudian yang disertai dengan keterangan nash juga sama-sama manusia yang mempunyai sifat-sifat kemanusiaan terdapat pada 13 tempat di dalam Al-Qur’an, baik melalui ucapan-ucapan orang kafir maupun melalui pernyataan dan ketetapan Allah sendiri, [4] sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 3.
ZpuŠÏdŸw öNßgç/qè=è% 3 (#rŽ| r&ur uqôf¨Z9$# tûïÏ%©!$# (#qçHs>sß ö@yd !#x»yd žwÎ) ֍t±o0 öNà6è=÷VÏiB ( šcqè?ù'tFsùr& tósÅb¡9$# óOçFRr&ur šcrçŽÅÇö7è? ÇÌÈ  
 (lagi) hati mereka dalam Keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, Maka Apakah kamu menerima sihir itu[951][5], Padahal kamu menyaksikannya?"
Al-insan” mempunyai beberapa bentuk kalimat yang berbeda-beda dengan ciri-ciri tertentu sehingga diyakini, bahwa kalimat-kalimat yang berbeda itu bermakna satu, seperti kalimat: “Al-Basyar”, “An-Nas” dan “Al-Insi”. Kebanyakan para Ahli Tafsir mengartikan bahwa kalimat-kalimat itu merupakan kalimat muradif (sinonim), yakni kalimat-kalimatnya berbeda tetapi bermakna satu. Sedangkan menurut asal kata Bahasa Arab tidaklah demikian, tetapi Al-Quranlah yang menjelaskannya. [6]
B.     Proses Penciptaan Manusia
Di dalam Al Qur’an, dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya :
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 9@»|Áù=|¹ ô`ÏiB :*uHxq 5bqãZó¡¨B ÇËÏÈ  
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Imam Ahmad berkata : Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami, Auf menceritakan kepada kami, Qasamah bin Zuhair menceritakan kepada kami dari Abu Musa, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dari segenggam tanah yang digenggam-Nya dari seluruh bumi. Maka lahirlah anak-cucu Adam seperti bentuk tanah. Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam dan diantara itu, ada yang jahat, ada yang baik da nada yang di antara itu.”[7]
Ada beberapa ayat di dalam Al-Quran yang menerangkan tentang proses penciptaan Adam.  Redaksi ayat-ayat itu seakan-akan bertentangan satu sama sama lain, namun apabila kita mencermatinya maka kita bisa mengetahui bagaimana sebenarnya proses penciptaan Adam tersebut. Proses penciptaan Adam pada tahap pertama adalah berupa thin (طين). Setelah mengalami proses, thin (طين) berubah menjadi hama’   masnun (حمإ مسنون)  Dan ini dibiarkan hingga menjadi shalshal al fakhkhar  (صلصال الفخار).
̍ÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ   t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#yŠ ÇÏÈ   ßlãøƒs .`ÏB Èû÷üt/ É=ù=Á9$# É=ͬ!#uŽ©I9$#ur ÇÐÈ  
5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan?
6. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,
7. yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
Makna Ijmaliy QS At thariq ayat 5-7, Ayat ini berisikan tentang perintah untuk merenungkan kembali awal atau asal dari penciptaan kita sebagai manusia. Manusia berasal dari saripati yang kemudian menjadi mani yang memancar dari kemaluan laki-laki. Dan air mani proses awalnya berada di lambung yang berada di antara tulang dada dan tulang belakang.[8]

C.     Peran Manusia Sebagai Khalifah
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam Al-Quran, yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh Al-Quran, yaitu:
a.     Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir 39.
b.     Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada surah-surah. Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62.
Pengertian khalifah jika dilihat dari akar katanya berasal dari kata khalafa, yang berarti di belakang atau menggantikan tempat seseorang sepeninggalnya (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya), karena itu katakhalif atau khalifah berarti seorang pengganti. Al-Raghib al-Isfahani menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya[9]. Lebih lanjut, Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan. Kataal-khalifah juga memiliki arti al-imârat yaitu kepemimpinan, atau alsulthân yaitu kekuasaan[10].

Dalam tafsir al-Razi diterangkan bahwa alkhalifah adalah orang yang menggantikan orang lain dan ia menempati tempat serta kedudukannya. Bentuk jamak al-khalifah ialah khala’if dan khulafa’. Seorang khalifah adalah orang yang menggantikan orang lain, menggantikan kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya. al-Razi mencantumkan perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan khalifah pada ayat tersebut. Ada yang menyatakan Adam berdasarkan informasi perusakan yang akan dilakukan (anak cucunya). Jadi yang akan merusak bukan Adam. Disamping itu, Adam juga khalifah karena menggantikan Allah dalam memutus hukum. Tetapi ada pula yang menyatakan yang dimaksud adalah anak cucu Adam, karena Adam menjadi khalifah bagi bangsa jin yang mendahuluinya. Disamping itu, yang dimaksud dengan khalifah adalah anak cucu Adam yang menggantikan sesama mereka.[11]
Mengutip pendapatnya Musa Asy’arie, menurutnya bahwa tugas seorang khalifah, sebagai pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya mengandung implikasi moral, karena kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah dapat disalahgunakan untuk kepentingan mengejar kepuasan hawa nafsunya, atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk kepentingan menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan manusia harus tetap diletakan dalam kerangka eksistensi manusia yang bersifat sementara, sehingga dapat dihindari dari kecenderungan pemutlakan kepemimpinan atau kekuasaan, yang akibatnya dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan.[12]








[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/manusia
[2] Abd. al-Lathif Muhammad al-Abduh, al-Insan fi Fikr Ikhwan al-Shafa, (Beirut: al-Maktabah al-Syabiyah, tt.) hlm 215
[3] Al-Thabathabai, Syeh Muhammad Husein, al-Mizan Tafsir Quran, (Beirut: Muassasah al-Alamiy li Mathbuat, 1991) Jilid VIII, hlm 451
[4] Bintusy Syathi, Aisyah Abdurrahman, DR, Maqalun fi al-Insan, Alih Bahasa Achmad Masruch Nasucha, M. Ali Chasan Umar, (Semarang:  CV Toha Putra, 1982) hlm. 261
[5] 951. Yang mereka maksud dengan sihir di sini ialah ayat-ayat Al Quran.
[6] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 1975
            [7] Salim Bahreisy, Terjemah Ringkas Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, (Surabaya:Bina Ilmu, 1990), hlm. 72
[8] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keseresaian Al Quran. Vol 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm 254-255,
[9] Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Gharîb al-Qur’ân, (Mesir: Al-Halabi, 1961), h. 156-157
[10] Ibn Manzur, Lisân al-’Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), Juz X, h. 430
[11] Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabîr, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1985), Jilid I, h.180-181
[12] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta: LSIF, 1992), h. 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas kunjungannya jangan lupa komen

iklan otomatis